facebook instagram twitter youtube rss linkedin
  • Home
  • Inspirasi
  • Life Style
    • Parenting
    • Food
    • Travel
  • Writing
  • About Me
  • Contact
Powered by Blogger.

Golde Kindangen's Blog

Kelas kami mendapat tugas mengisi majalah dinding sekolah. Mengetahui hal tersebut kami pun berbagi tugas. Ada yang menulis salam redaksi, membuat artikel, humor, pojok mading, anekdot, tips menarik, opini, info unik, puisi, cerpen, cerbung dan lain sebagainya.

Sumber Foto. Dokumen Pribadi

Aku menawarkan diri menulis cerpen fiksi yang kuberi judul Balada Anak Kelas Dua. Dengan mengambil setting suasana belajar kelas kami. Di kelas dua IPS, dan menggunakan nama-nama temanku sebagai tokohnya.

Ya, namanya saja cerita fiksi, bukan kisah nyata. Idenya boleh jadi diambil dari kisah nyata, tapi ceritanya sendiri sudah banyak mengalami penambahan agar tercipta efek dramatis bagi pembacanya.

Nah, pada bagian-bagian tertentu aku menggambarkan si tokoh utama sebagai orang yang tidak cerdas. Narasinya kubuat seperti ini 'Totok memperlihatkan wajah blo'on-nya yang khas'

Tak disangka kalimat tersebut memicu kemarahan dari teman kelasku yang bernama Totok. Memang, nama tokoh utama ceritaku adalah si Totok. Akibat merasa tersinggung ia pun merobek sebagian cerpenku yang sudah terpampang di mading sekolah.

Karuan saja, perbuatan Totok ini membuat teman yang lain murka. Mereka marah karena melihat cerpenku yang disobek dengan semena-mena oleh si Totok. Padahal teman-teman merasa sudah bersusah payah menerbitkan mading tersebut.

Perseteruan tak terhindarkan, dan perang mulut antara teman-temanku dan Totok berlangsung sengit. Dari gayanya kedua belah pihak tak ada yang mau mengalah, masing-masing pihak merasa bahwa diri mereka lah yang paling benar. 

Sampai akhirnya berita mengenai percekcokan ini sampai ke telinga kepala sekolah. Akhirnya, kami semua pun dipanggil kepala sekolah agar berkumpul pada pertemuan OSIS, maksud beliau mungkin menyidangkan pihak-pihak yang berseteru. Berarti persidangan ini digelar untuk mendamaikan antara aku dan teman-temanku melawan Totok.

Ada kejadian lucu. Sebelum sidang dimulai, salah seorang adik kelas bernama Daud Yusuf berujar kepada Totok “Jangan khawatir, Tok. Nanti kalo pas sidang aku akan membela dirimu mati-matian,” ujarnya memberi dukungan kepada Totok, sambil tersenyum menenangkan

Tak lama berselang usai berkata begitu, datanglah rombongan teman-temanku, Rahmawati Umar, Rahmawati Rahman dan Nurjannah Daud. Mereka ini teman-teman yang sangat marah melihat perbuatan Totok. Kedatangan mereka memberi efek kehebohan. Soalnya, belum masuk ke dalam ruangan baru di pintu saja, mereka sudah mulai ngomel-ngomel panjang lebar, menyemprot Totok dengan kalimat-kalimat menyalahkan, menghardik dengan tensi kemarahan yang tinggi.

Tak mau kalah Totok balas menyerang. Mempertahankan pendapat, mati-matian bersikukuh perbuatannya tersebut adalah tindakan, yang diambil dalam rangka membela kehormatan dirinya yang sudah diinjak-injak olehku. 

Oh, lihatlah wajah Daud Yusuf yang tadinya sempat menawarkan pembelaan kepada Totok. Jangankan membela Totok, bersuara saja ia tak mampu. Ia hanya duduk sambil meringis di samping Totok. Sebagai pembaca situasi ia termasuk cerdas karena mundur sebelum bertanding. Ia paham ini adalah pertempuran yang tak mungkin dimenangkan olehnya.

Boleh dibilang, dibanding kemarahan teman-teman, kemarahanku sebagai pengarang cerpen yang sudah di robek malah kurang ganas. Entahlah, melihat perdebatan sengit antara Totok dan teman-teman justru membuatku meringis. Ya, bingung. Ya, mau ketawa.

Selain dua grup yang saling bersahutan tersebut, kami yang berada di ruangan itu hanya bisa menolehkan kepala ke kiri dan ke kanan. Kadang melihat ke arah Totok. Kadang melihat ke arah teman-temanku, persis adegan film kokos Tweety menonton pertandingan tenis antara beruang dan harimau. Tengok kiri, tengok ke kanan. Iya, hajar terus *Wkwkwk*

Untungnya, tak lama pak kepala sekolah memasuki ruangan, sehingga suasana dapat sedikit terkendali.

Intinya, pak Santoso tidak membelaku maupun Totok. Demi menenangkan Totok, pak Santoso mengatakan bahwa ceritaku hanya lah fiktif belaka, tak perlu merasa tersinggung.

Sedangkan kepadaku pak Santoso berpesan teruslah berkarya tapi tetap harus berhati-hati. Sebaiknya sebelum menerbitkan karya fiksi dengan tokoh-tokoh yang nyata, kasih pemberitahuan terlebih dahulu bahwa tulisan ini hanya lah fiktif belaka.

Demikianlah peristiwa cerpen yang menghebohkan itu, menjadi kenangan yang konyol dan lucu buat kami semua.

#Postingan ini diikutsertakan pada tantangan odop bersama Estrilook Community

#day 30


Wednesday, January 30, 2019 No komentar
Namanya saja kelas rusuh, bisa dipastikan tingkah laku penghuninya kurang lebih saja seperti namanya. Rusuh juga. Itulah kelas tiga IPS. Sepertinya sebagian besar penghuni kelas ini mempunyai struktur otak yang ora umum, makanya tingkah lakunya sering bikin geleng-geleng kepala para guru.

Kelas 3 IPS. Sumber Foto. Dokumen Pribadi

Tak alang tanggung sampai kepala sekolah juga ikutan dibuat geleng-geleng kepala ini. Ceritanya, beliau masuk kelas kami untuk memberi motivasi belajar, karena salah satu guru tidak masuk sekolah.

Hal pertama yang beliau lakukan adalah mengecek kehadiran kami. Malang buat beliau buku absennya menghilang entah kemana. jadi untuk mengetahui nama kami satu persatu, ia menggunakan nama yang tertera pada daftar piket kebersihan kelas. Alangkah terkejutnya beliau saat melihat daftar tersebut. Tak satu pun nama yang ditulis di situ ia kenali. Semuanya asing dan terlihat aneh.

Si bapak akhirnya bertanya “Ini nama-nama siapa, kok saya tidak ada yang kenal satu pun,” Kata beliau

“Nama kami, Pak” ujar kami hampir serempak dan mantap.

“Nama siapa? Maksudnya gimana ini?” beliau terus saja menuntut penjelasan kami.

Akhirnya, beberapa dari kami memberi penjelasan bahwa, nama yang tertulis pada daftar tersebut memang nama kami. Tapi, hanya berupa penggalannya saja. Ada sebagian nama yang dibalik dulu baru diambil penggalannya. Contohnya namaku Golde Meyer Kindangen, diambil Meyernya baru dibalik menjadi Reyem, dan hasil akhirnya diambillah suku kata Rey sebagai nama yang merujuk pada diriku. Nah, itulah yang ditulis. Mulyani jadi Muli. Rahmawati Umar jadi Ma'u. Budiono jadi Dion. Amir Hamzah jadi Amzah. Muhammad Rifani jadi Ifan. Murniansya jadi Ansyah. Dori Rosita menjadi Idor. Agustin Dewi Trisnawati menjadi Iwed dan lain sebagainya.

Karuan saja jawaban kami membuat si Bapak geleng-geleng kepala. Campuran antara gemas dan takjub akan isi kepala sebagian dari kami, yang kelewat kreatif. Beliau memperlihatkan raut wajah mangkel tapi tak berdaya untuk marah.

Tak hanya pak kepala sekolah tentunya, yang merasa bingung dan aneh soal daftar piket itu, wali kelas kami pak Ali Mansyur pun tak luput terbengong-bengong juga. Menurut beliau ini mungkin nama daftar piket teraneh yang pernah ia temui.

Kreatif sih kreatif. Tapi sayangnya kreatifnya kami tidak disalurkan untuk tujuan yang pasti-pasti saja. Semisal, kreatif menemukan cara menguasai mata pelajaran paling sulit di seantero bumi, yaitu matematika.

Meskipun anak IPS terkenal tak pernah kekurangan akal. Tapi kalau menyangkut pelajaran matematika, entah mengapa mendadak berubah menjadi gagu, gagap dan pendiam semua.

Apalagi yang mengampu mata pelajaran sulit ini adalah pak kepala sekolah, yang terkenal tegas dan disiplin. Wah, jangan tanya, deh, pasti pada aneh melihat kami yang tiba-tiba kalem dan pendiam. Tak ada lagi kicauan berisik, semuanya berubah menjadi sok sibuk ngurek-ngurek kertas mencari jawaban.

Sok sibuk tentunya beda dengan sibuk beneran . Tanya saja ke yang bersangkutan apakah gaya sok mumet mencari jawaban tersebut membuahkan hasil? Pasti sebagian besar jawabannya tidak. Kenyataan yang membuat pak Santoso Adi gemas bukan kepalang. Sampai-sampai beliau
mengeluarkan pernyataan legendarisnya

“Kalian ini macam orang nun jauh di sana”
Ujar beliau sambil menunjuk ke arah gunung, hutan pedalaman nun jauh di mata.

Ekspresi kesal karena sudah dijelaskan berulang kali tapi tetap saja kami enggak mengerti. Mengangguk-angguk seolah-olah mengerti, iya, betulan mengertinya tidak. Mungkin maksud beliau kami macam orang gunung buta huruf yang enggak pernah belajar matematika. Masa dijelaskan sampai berbusa-busa enggak nangkap juga. Begitu kira-kira pendapat beliau. Entahlah ... Hanya beliau dan Allah yang tahu kebenarannya

#Postingan ini diikutsertakan pada tantangan Odop bersama Estrilook Community

#day29

Tuesday, January 29, 2019 No komentar
Malam harinya, kami mendapat pesan akan dijamu makan malam oleh pak Rustam dan istri. Kebetulanlah kalo begitu. Perut memang sudah keroncongan, dan tidak tahu harus ke mana mencari makan.

Bubur Pedas. Sumber Foto. Dokumen Pribadi

Oleh pak Rustam kami dibawa ke rumah makan padang. Yes, Makan enak, nih! Rasanya, makan malam kali ini terasa nikmat sekali. Mungkin karena perut sudah sangat lapar, sehingga apa pun yang masuk mulut terasa enak. Alhamdulillah.

Puas bercerita dengan pak Rustam dan Ibu, kami kembali ke kontrakan buat istirahat. Besok, kami para istri akan turut menghadiri acara pelantikan suami-suami kami.

Pelantikan itu tiba juga, dengan dihadiri beberapa orang hakim senior, pegawai dan perwakilan Dharmayukti Karini, acara pelantikan berjalan khidmat, tertib dan lancar. Dengan berakhirnya pelantikan tersebut berarti suamiku dan teman-temannya telah resmi menjadi hakim Pengadilan Agama.

Malam harinya, kami berenam memutuskan melihat-lihat kota Singkawang. Tapi, karena di Singkawang tak ada taksi, dan kami tidak memiliki kendaraan. Kami pun terpaksa berjalan kaki saja. Menjangkau lokasi terdekat yang tidak terlalu jauh.

Hingga tibalah kami di area pertokoan jalan Yos. Sudarso. Keluar masuk beberapa toko melihat-lihat siapa tahu ada yang menarik minat. Sampai akhirnya kami pulang membawa belanjaan masing-masing. Aku dan suami enggak beli apa pun, sedangkan Abduh membeli karpet kecil, dan Firman beserta istri membeli souvenir. Ada yang aneh soal cenderamata yang dibeli oleh istri Firman, yaitu, boneka santa klaus dan patung Budha. Mungkin karena kedua boneka tersebut terlihat sangat imut yang membuatnya tergerak membeli. Entahlah.

Kami pasti terlihat aneh, sehingga banyak orang melihat rombongan kami dengan pandangan ingin tahu. Bayangkan, enam orang sedang berjalan kaki, satunya ibu hamil, satunya membawa karpet, dan empat lainnya membawa kresek belanjaan, yang kadang bercanda dan tertawa riang, mirip seperti tunawisma bahagia, membuat perjalanan bolak-balik dari kontrakan ke tempat kami belanja yang lumayan jauh, tak terasa sama sekali.

Esok harinya, pak Rustam dan istri mengajak kami berjalan-jalan seputar Singkawang. Tapi sebelum itu, paginya kami sarapan dulu di warung dekat kontrakan.

Di warung ini kami pesan berbagai menu sarapan, ada yang pesan nasi kuning, lontong sayur dan aku sendiri pesan bubur pedas. Menu-menu ini tak luput jadi topik bahasan kami. Ternyata, nasi kuning di Singkawang lauknya sedikit berbeda, yaitu, telur, sambal goreng teri dan tempe, bihun dan sedikit sayuran. Jangan cari ikan haruan sambal habang, karena sudah pasti enggak ada di sini. Kenyataan ini membuat ibu hamil sedikit kerepotan. Menunya enggak sesuai selera. Kada nyaman, jar! Hehe ...

Lain nasi kuning lain lagi bubur pedas. Demi menjawab rasa penasaran aku sengaja memesan menu ini. Sekilas penampakannya seperti bubur Manado tapi warnanya lebih pekat. Pas di coba. Wah, hanya bisa mengungkapkan satu kata tentang rasanya, aneh.

Pertama-tama rasanya sama sekali enggak ada pedas-pedasnya, dan ada aroma entah dari bahan atau bumbu-bumbunya yang terlampau tajam. Membuatku berujar dalam hati “Rasanya macam makan rumput aja” enggak enak banget. Di kemudian hari aku tahu, aroma yang tajam itu dari daun kesum. Salah satu komponen yang wajib ada saat membuat bubur pedas, makanan khas orang Melayu yang tumbuhnya hanya ada di Kalbar.

Selesai sarapan kami dijemput pak Rustam dan istrinya untuk dibawa berkeliling kota Singkawang. Mendatangi berbagai obyek wisata yang ada di sana. Di Singkawang rupanya banyak terdapat tempat wisata, mulai dari pantai, taman hingga kebun binatang.

Salah satu yang membuat kami heboh, saat melihat sepanjang jalan banyak dijumpai klenteng. Di mana-mana ada klenteng. Di bukit, di sawah, di pinggir lautan, di pulau di tengah lautan, dan lain-lain. Ternganga-nganga kami melihatnya macam orang udik yang tak pernah melihat klenteng sebelumnya, padahal pemandangan tersebut wajar saja, mengingat di Singkawang salah satu etnis terbesarnya adalah Tionghoa yang penganut khong hu chu


Sumber Foto. Dokumen Pribadi

Ada yang menarik soal etnis Tionghoa ini. Kalau di daerah lain umumnya kita menjumpai etnis ini rata-rata hidup makmur dan mewah. Di Singkawang kita akan melihat pemandangan berbeda. Banyak orang Tionghoa yang hidupnya pas-pasan bahkan di bawah standar. Seolah-olah pemandangan biasa melihat mereka ada yang berjualan sayur, ikan, buah, bahkan ada yang jadi tukang becak dan pengemis. Sehingga ada kelakar di antara kami “Kalau mau lihat Agnes Monica jualan buah, silakan datang ke Singkawang”

Tak terasa waktu kunjungan kami para istri di Singkawang berakhir. Iya. Kami memang tidak menyertai kepindahan suami-suami kami ke Singkawang karena terhalang pekerjaan. Kalau aku tetap pindah ke Singkawang, tapi setelah menyelesaikan tugasku mendampingi murid-murid SMK Muhammadiyah Sampit lulus ujian, jadi, masih sekitar 5-6 bulan baru bisa menyusul suamiku. Sedangkan istri Firman dan Abduh positif tak mendampingi suami-suami mereka karena bekerja sebagai guru PNS daerah, yang tidak mudah pindah ke sana ke mari.

Tamat

#Postingan ini diikutsertakan pada tantangan odop bersama Estrilook Community

#day28










Monday, January 28, 2019 No komentar
Hari yang ditentukan ke Singkawang tiba. Sekitar jam 09.00 pagi taksi pesanan yang akan membawa kami ke Singkawang tiba di Wisma. Kami pun berangkat menuju Singkawang.

Sumber Foto. Dokumen Pribadi

Ada beberapa pemandangan dalam perjalanan yang membuat kami terheran-heran, seperti melihat kambing diikat dengan posisi tiarap di atas bus. Karuan saja pemandangan tak berperi kehewanan tersebut menjadi topik bahasan hangat, membuat sopir justru melihat kami dengan tatapan aneh, karena menurutnya hal tersebut menjadi pemandangan biasa bagi masyarakat Kalbar.

Menurut pak sopir, atap bus menjadi wadah serba guna. Tak hanya hewan yang berada di sana, kadang kalau penumpang bus sesak, sebagian penumpang duduk di atap tersebut.

Alkisah, ada satu cerita menyangkut atap bus yang menjadi penampung apa saja termasuk manusia ini. Suatu ketika dalam perjalanan, seorang penumpang yang duduk di atap bus, asyik bercerita dengan kawan di sampingnya, tanpa menyadari ada pohon kayu di hadapan. Saat tersadar ia tidak sempat lagi menghindar dari si pohon. Ya, terjadilah. Si orang tersebut menyangkut di pohon kayu sementara bus-nya terus berjalan melenggang jauh. Cerita ini menurut pak sopir sangat terkenal di kalangan sopir taksi. Soal kebenarannya, apa memang demikian peristiwa yang terjadi hanya mereka dan Allah yang tahu.

Di pertengahan perjalanan kami singgah di kedai makan di Sungai Duri. Aku sengaja memesan bakso saja. Sudah dua kali aku menikmati bakso di Kalbar, sekali di Pontianak dan di Sungai Duri ini. Lagi-lagi ada yang berbeda dengan bakso di sini dengan yang biasa kumakan di tiga Kalimantan. Untuk mie putihny bukan sohun seperti yang biasa ditemui, tapi campuran antara bihun dan mie tiaw (kwetiaw), dari segi taste pun terasa berbeda.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih empat jam kami pun tiba di Pengadilan Agama Bengkayang, yang langsung disambut oleh ibu Nisa Istantri selaku Panitera Sekretaris. Kami langsung menghadap pak Rustam dan istrinya yang merupakan ketua Pengadilan Agama di situ. Ternyata, beliau ini suku banjar juga tapi sudah menjadi warga Kalbar sejak puluhan tahun yang lalu.

Pertemuan itu diakhiri dengan melihat-lihat rumah kontrakan para suami-suami. Letaknya tidak jauh dari kantor Pengadilan Agama, hanya tinggal menyeberang saja. Kontrakan berbentuk barak yang sangat minimalis karena hanya terdiri dari sebuah kamar, kamar mandi dan sebuah tempat tidur, tanpa dapur apalagi ruang tengah. Menurut ibu Nisa kontrakan ini tempat tinggal sementara saja sebelum mendapatkan rumah yang sesuai keinginan.

Bersambung ...

#Postingan ini diikutsertakan pada tantangan odop bersama Estrilook Community

#day27



Sunday, January 27, 2019 No komentar
Muhammad Abduh dan Firman Wahyudi tiba bersama istri-istri mereka, dan ternyata istrinya Firman sedang hamil lima bulan. Lumayan jauh perjalanan yang harus ditempuh si ibu hamil, yaitu harus naik pesawat sebanyak dua kali agar sampai di bumi khatulistiwa. Itu baru sampai Pontianak saja, belum besoknya harus ke Singkawang lagi, yang menurut informasi membutuhkan waktu sekitar empat jam perjalan darat baru tiba di sana. Semoga si ibu dan bayinya sehat saja.

Sumber Foto. Dokumen Pribadi

Reuni kecil-kecilan itu terasa menghangatkan hati. Bertemu orang-orang yang kita kenal di tempat baru yang asing, membuat perasaan tidak sendiri lagi.

Aku kenal Abduh sejak kuliah. Meskipun tidak dekat, kami pernah terlibat obrolan sekali-dua di masa lalu. Siapa yang enggak kenal Abduh yang populer, selain wajahnya yang ganteng ia juga cerdas dan seorang aktivis kampus. Setahuku banyak cewek mengidolakannya.

Sedangkan Firman, aku tidak berteman dan belum pernah bertegur sapa, karena Fakultas kami memang berbeda tapi sering melihat wajahnya wara-wiri di kampus. Termasuk istrinya juga, Budi Fithriati, pernah lihat wajahnya tapi enggak pernah teguran. Iya, kami berlima semuanya alumni IAIN Antasari Banjarmasin kecuali Gesty Febriani istrinya Abduh.

Berhubung hari sudah malam dan perut yang mulai keroncongan. Kami memutuskan segera mencari tempat makan  di seputar jalan Imam Bonjol. Ada banyak restoran tersedia, namun kami memutuskan makan di warteg sari laut saja.

Pengalaman pertama bersentuhan dengan kebiasaan berbeda, terjadi saat makan malam ini. Saat itu  beberapa orang dari kami pesan es jeruk, yang ditanggapi oleh pelayannya dengan pertanyaan “Jeruk kecil atau jeruk besar?” ujarnya.

Antara bingung dan rasa ingin tahu. Entah Abduh atau Firman sengaja pesan es jeruk kecil. Tak lama yang ditunggu pun datang. Ternyata yang dimaksud es jeruk kecil adalah es jeruk sambal. Oalah*wkwkwk* dikira varian jeruk yang mana. Aneh saja rasanya melihat jeruk yang biasanya hanya dipakai buat campuran sambal, menjadi minuman. Kalo minum es jeruk nipis, sih, sudah biasa. Jeruk sambal?  Bahkan, sampai saat ini pun lidahku tak kunjung terbiasa.

Setelah kenyang dan puas bertukar cerita, kami pun istirahat, memulihkan tenaga untuk melanjutkan perjalanan besok hari.

Bersambung ...

#Postingan ini diikutsertakan pada tantangan odop bersama Estrilook Community

#day26



Saturday, January 26, 2019 No komentar
Genap bertugas selama dua tahun delapan bulan, SK suami sebagai hakim keluar. Di dalam surat keputusan tersebut tertera Pengadilan Agama Bengkayang sebagai tempat tugas berikutnya. Berarti paling lama dalam sebulan suamiku harus pindah dari Sampit.

Kantor Pengadilan Agama Bengkayang yang lama. Sumber Foto. Dokumen Pribadi


Sebelum menginjakkan kaki ke tempat tugas baru, kami sengaja mencari tahu di mana letak Pengadilan Agama Bengkayang tersebut.

Berdasarkan informasi yang kami temukan, ternyata Pengadilan Agama Bengkayang tidak terletak di kabupaten Bengkayang, yang merupakan salah satu kabupaten pemekaran baru di Kalimantan Barat, melainkan bertempat di kota madya Singkawang. Jadi, yang bakal menjadi tanah air kami berikutnya adalah Singkawang.

Syukurnya lagi, penugasan suami ke Pengadilan Agama Bengkayang tidak sendiri, tapi bersama Firman Wahyuni dan Muhammad Abduh Rifani.
Mereka berdua ini junior suami sejak di SMA hingga perguruan tinggi di Fakultas Syariah IAIN (Sekarang UIN) Antasari Banjarmasin. Nasib rupanya telah menyatukan mereka sejak prajabatan di Surabaya, berlanjut selama diklat calon hakim di Mega Mendung Bogor, hingga penempatan tugas pertama sebagai hakim. Ya, berita bagus buatku dan suami. Artinya, kami tak akan sendiri hidup di tanah rantau.

Tak lama setelah acara perpisahan di kantor Pengadilan Agama Sampit. Aku dan suami bertolak ke Singkawang, Kalimantan Barat. Beruntung, dari Sampit tersedia rute pesawat menuju Pontianak, sehingga kami tak perlu memutar lewat Jakarta dan bisa menghemat lebih banyak waktu. Dengan menggunakan pesawat kalstar, kami pun terbang menuju Pontianak.

Sebenarnya keikutsertaanku hanya sampai pelantikan suamiku saja. Aku  tak bisa langsung menyertai suami karena harus menyelesaikan kewajibanku, mendampingi anak-anak kelas tiga di SMK Muhammadiyah Sampit, sampai mereka lulus. Jadi, untuk sementara aku dan suami akan hidup terpisah dulu.

Kami tiba di bandara Supadio Pontianak dan langsung disambut oleh pak Dzulkifli, seorang hakim tinggi kenalan abah Saiful, paman suamiku. Beliau langsung mengantar kami ke wisma pelangi, sebuah penginapan di jalan Imam Bonjol. Menurut beliau kami terpaksa menginap di wisma saja, karena hotel di seputar jalan tersebut semuanya penuh. Tak mengapa. Buat kami yang penting ada tempat menginap selama di Pontianak sebelum besoknya harus pergi ke Singkawang.

Aku dan suami istirahat saja di wisma menunggu rombongan Abduh dan Firman yang pergi bersama istri-istri mereka. Menjelang sore hari mereka pun tiba di wisma.

Bersambung ...

#Postingan ini diikutsertakan pada tantangan Odop bersama Estrilook Community

#day25





Friday, January 25, 2019 1 komentar
Di sekolah kami ada dua guru yang bernama pak Santoso. Yang satunya pak Santoso Adi sang kepala sekolah, dan satunya lagi pak Santoso (saja) pengampu mata pelajaran sosiologi dan antropologi.

Sumber Foto Pexels.com


Pak Santoso (saja) ini salah satu guru yang sabar dan sangat cocok menangani anak kelas tiga IPS. Istilahnya penduduk planet pluto, he fits us so well. Beliau enggak pernah terintimidasi oleh sikap kami yang lebih mirip penindas dari pada murid sma. Si bapak selow saja menanggapi setiap tingkah kami yang suka seenaknya itu.

Suatu hari, karena ada urusan keluarga beliau minta izin kepada kami, siapa tahu absen mengajar keesokan harinya. Kami pun menanggapi berita tersebut dengan senang hati dan penuh syukur. Siapa, sih yang enggak suka jam kosong. Sepertinya, hampir semua murid menyukai saat tak harus belajar.

“Bapak enggak  mengajar besok?”

“Asyiiik”

“Iyes!”

“Yang bener, ya, pak. Awas, loh, kalo bapak bohong”

“Bener, ya, Pak. Jangan sampai bapak datang ke Sekolah, besok, ya!”

Si Bapak hanya tertawa mendengar tanggapan kami, atas rencananya tidak turun mengajar esok hari, yang tentu saja bernada tak sopan tersebut.

Esok harinya, pak Santoso memang enggak hadir mengajar kami, membuat seluruh penghuni kelas  bersuka cita. Dalam rangka menikmati kebebasan, ada yang pergi ke kantin, menggosip, membaca atau hanya sekadar bermalas-malasan di dalam kelas.

Namun, tak lama berselang.
“Assalamu’alaikum,” Terdengar seseorang mengucapkan salam. Sepertinya suara seseorang yang kami kenal. Ah, ternyata benar! Di sana pak Santoso (saja) sudah memasuki kelas kami sambil menyungging senyum manis. Tepatnya, senyum kemenangan, karena berhasil menggagalkan rencana kami menikmati hari kemerdekaan.

Kontan saja hampir seluruh penghuni kelas bereaksi. Bersuara menyatakan rasa keberatan

“Loh, Pak. Katanya hari ini bapak enggak ngajar, kok, turun sih”

“Bapak ini, loh, ingkar janji. Katanya enggak ngajar tapi, kok, hadir”

“Yah, belajar lagi.”

“Ih, sebel sama bapak ini”

Pak Santoso hanya bisa meringis mendengar ocehan bernada protes kami. Beberapa waktu beliau hanya mendengarkan saja, sampai akhirnya berkata,

“Aduh, mbak. Saya ini udah bela-belain hadir ke sekolah demi kalian, loh. Sampe sini, kok, malah diomelin,” keluh beliau (masih) sambil tertawa, salah tingkah.

Demi melihat ekspresi si bapak yang memelas, kami pun menjadi tidak tega dan ikut-ikutan tertawa juga.

Saat jam pelajaran dimulai, ternyata turun hujan. Seolah-olah batin kami saling terhubung, yang membuat kami sepakat sedikit bermain-main dengan beliau.

Tatkala pak Santoso memberi tahu halaman tugas kepada teman-teman di lajur kanan, yang di sebelah kiri teriak “Tugasnya halaman berapa, pak?”

Begitu lagi saat beliau pindah ke jalur kiri, gantian penghuni di lajur kanan yang teriak “Tugasnya halaman berapa, sih, pak?”

Begitu terus sampai beliau bolak-balik sekitar tiga kali. Hingga akhirnya beliau sadar kalau sedang di kadali murid-murid. Si bapak pun maju ke papan tulis, untuk menuliskan satu kata berbunyi;

SALIWANG

Dalam bahasa jawa yang artinya TULI, dan tulisan ini ditujukan buat kami yang pura-pura enggak mendengar omongan beliau. Karuan saja kami pun tertawa riuh. Hore! Skor 1-1 buat kami versus pak Santoso*wkwkwk*

#Postingan ini diikutsertakan pada tantangan odop bersama Estrilook Community

#day 24







Thursday, January 24, 2019 No komentar
Aku menuruni tangga menuju kelasku. Saat asyik berjalan, aku berpapasan dengan pak Edi, guru IPA yang kebetulan berstatus masih bujangan.


Sumber Foto. Koleksi Pribadi

“Temanmu yang enggak hadir siapa, Gol?”

Tanya beliau kepadaku. Dari pertanyaan ini aku langsung tahu, bahwa pak Edi pasti sedang piket, dan sepertinya, salah satu tugas guru piket adalah mencatat siswa-siswa yang tidak hadir.

“Enggak tahu, Pak. Bapak cek aja sendiri!”

Jawabku santai, sambil melempar senyum penuh arti.

Tentu aku paham alasan beliau mencegatku begini. Pasti si bapak sedang terserang virus malas, yang ditandai dengan perasaan ingin maju mundur cantik ala lagunya Syahrini, kemudian ditambah si kaki yang terasa berat melangkah menuju kelas kami. Kelas tiga IPS.

Sebenarnya, perasaan enggan yang menghinggapi beliau bisa dipahami. Mengingat, reputasi kelas kami yang sudah terkenal sebagai tempat berkumpulnya murid-murid paling beringas, berisik, banyak mulut, tukang protes, sok tahu, dan suka menindas siapa saja yang lemah*wkwkwk* tidak pernah takut sama guru mana pun kecuali pak Santoso sang kepala sekolah.

Membuat siapa pun termasuk guru-guru berpikir ulang untuk terlibat dengan kami. Kalau enggak penting betul, lebih baik tak pernah berurusan dengan kelas tiga IPS. Takut dengan kami, sih, pastinya enggaklah, ya. Cuma risi dan kesal iya. Apalagi kalau status gurunya masih bujangan. Wah, itu mah santapan empuk buat di macem-macemin *hahaha* dan pak Edi termasuk dalam kelompok ini.

Lihat saja bagaimana nasib beliau saat menjalankan tugasnya sebagai guru piket. Belum juga kakinya melangkah memasuki kelas, kami sudah bersuara begini “Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuuh” serempak dan kompak. Padahal, beliau belum mengucap sepatah kata pun, apalagi salam.

Dasarnya otak anak IPS banyak yang mengalami korsleting, demi berhadapan dengan raut wajah beliau, bukannya berlaku sopan penuh tata krama, yang berputar-putar di kepala justru seruan-seruan kurang beradab ini “Hore, ada mainan!”

“Wah, hari ini bapak cakep!”

“Bapak, suit, suit!”

“Ih, baju bapak motifnya ular, gitu, ya,” dan lain sebagainya.

Untungnya, beliau sudah paham lagunya. Alih-alih memarahi kami, si bapak paling juga hanya senyum-senyum doang. Enggak ada gunanya memarahi murid-murid kurang dua ons ini. Mungkin demikian ia membatin. Buang-buang energi saja.

Kalau ingin membuat kami para murid bandel ini anteng mudah saja sebenarnya. Tinggal minta tolong saja sama pak kepala Sekolah agar menambah jam pelajaran matematika. Kombinasi sempurna antara satu-satunya guru yang paling ditakuti, dan mata pelajaran yang tidak dikuasai oleh hampir seluruh siswa, sangat mampu membungkam bahkan mulut paling cerewet sekali pun.

Kendati demikian, bukan berarti kami siswa yang suka berbuat onar dan tidak peduli dengan belajar. Ya, enggak juga. Kami banyak tingkah itu sudah pasti, tapi dalam urusan belajar dan nilai kami justru sangat kompetitif. Bersaingnya malah enggak mengenal batas, sampai teman sebangku pun dianggap sebagai rival juga. Istilahnya, urusan teman kita, yes. Soal nilai kita adalah lawan. Berkompetisi dan saling mengungguli

Ada pun soal sikap kurang sopan yang sering diperlihatkan. Bukan berarti tak hormat. Intinya, kami suka bermanja-manja dengan para guru, dan merasa nyaman bertingkah seaneh apa pun, karena merasa yakin kami tetap disayang walau sering memusingkan.

Yes, that's it. Guru-guru kami adalah orang baik dan hebat. Jejak tangan mereka dalam mendidik, bisa dilihat dari kehidupan murid-murid mereka sekarang, yang sebagian besar hidup baik dan menjadi orang baik. Semoga Allah selalu memberkahi dan merahmati guru-guru kami, bukan hanya di dunia tapi hingga ke akhirat kelak. Aamiin.

#Postingan ini diikutsertakan pada tantangan odop

#day23


Thursday, January 24, 2019 No komentar
Dua hari yang luar biasa. Enggak pernah menyangka akan mengalami sport jantung begini hanya gara-gara menulis. Jantungan sekaligus bersemangat.

Sumber Foto.Pexels.com
Awalnya, pagi ini hanya ingin menyetor sekitar 300-400 kata saja, untuk tugas opening cerpen romance, salah satu proyek antologi yang kuikuti. Enggak tahunya, ide menulisnya tiba-tiba mengalir deras. Macam air bah saja, yang membuatku kelimpungan karena baru bisa berhenti menulis saat kata-katanya mencapai 945. Ya, lumayan lelah jadinya. Tenaga terkuras macam sehabis ujian matematika*wkwkwk*

Sedianya waktu menulis opening ini kubatasi sampai maghrib saja. Tak tahunya malah molor sampai pukul 20.30, padahal aku belum sempat mengerjakan tugas odop, karena seharian ini fokusku memang hanya di fiksi saja.

Alhamdulillah, tugasnya sudah dikumpul juga. Jadi, aku masih punya waktu menuntaskan tugas odopku sebelum tengah malam.

Bagaimana, ya? Menulis itu pekerjaan yang menyenangkan. Bahkan untukku sendiri, menulis bermanfaat juga buat penyembuhan. Konsentrasi saat menuangkan ide-ide ke dalam tulisan mampu mengalihkan pikiranku dari hal-hal negatif.

Jika tadinya sempat merasa sakit hati karena perbuatan seseorang. Namun, saat di kejar-kejar tugas menulis begini, mana sempat lagi memikirkan hal tersebut. Boro-boro punya waktu buat sakit hati. La wong, sejak bangun tidur sudah dikejar-kejar tugas menulis. Ya, odop. Ya, tugas fiksi.

Dengan berjalannya waktu dan kesibukan menulis, ternyata dapat membantu menyembuhkan luka batin juga. Artinya apa? Menulis bisa membuat sehat jiwa dan badan

Namun, aku harus pandai-pandai mengatur waktu, dan tidak mengambil tugas menulis melebihi kemampuan.

Makanya, karena tahu diri, meskipun  banyak tawaran menarik, baik kelas maupun proyek antologi, aku tetap pilih-pilih juga, tidak harus mengambil semuanya, agar bisa memenuhi target menulis dengan bahagia, dan terhindar dari stres karena kebanyakan tugas.

Tentu saja rasanya sangat membahagiakan manakala berhasil mencapai target. Apalagi saat sukses menyelesaikan semua tantangan menulis. Perasaan 'aku mampu' itu ternyata membuat kecanduan. Walaupun harus jungkir balik menuntaskannya, tetap saja ada keinginan untuk mengikuti lagi tantangan tersebut di kemudian hari.

#Postingan ini diikutsertakan pada tantangan one day one posting bersama Estrilook Community
#day22






Tuesday, January 22, 2019 No komentar
Niatnya, sih, ingin menulis cerita semasa SMA hari ini. Tapi, berhubung seharian disibukkan dengan mengejar deadline antologi cerita anak, yang diselenggarakan IIDN. terpaksa tulisan buat one day one Posting bersama Estrilook-nya ditunda hingga malam ini.

Sumber Foto. Pixabay


Alhamdulillah, naskahnya rampung juga, dan berhasil dikumpulkan sekitar 2 jam sebelum deadline. Meskipun, akan melalui seleksi lagi, apakah naskahku menjadi salah satu yang diterima atau ditolak, itu urusan belakangan, yang penting aku usaha dulu. Mengumpul naskah dulu. Berharap lolos itu pasti, tapi harus tahu diri juga. Sadar dengan keadaan diri yang masih pemula.

Sebenarnya, proyek antologi ini sendiri sudah dimulai 2 minggu yang lalu. Hanya saja, karena kebingungan mencari ide yang sesuai dihati, mengakibatkan pengerjaan naskahnya baru dimulai beberapa hari belakangan. Itu pun setelah melalui gonta-ganti tema.

Tak mudah memang bagi pemula sepertiku melahirkan tulisan. Enggak seperti senior-senior yang mampu menyelesaikan tugas menulis sampai berlembar-lembar dalam sehari. Bagiku butuh waktu mencari ide, menyusun outline, baru kemudian menuangkannya ke dalam tulisan.

Walau sudah punya sedikit gambaran bagaimana membuat cerita anak. Tetap saja, proyek kedua ini berbeda karakternya dengan yang dahulu. Kalau proyek antologi cerita anak, yang kuikuti pertama kali bersama wonderland family, kami membuat cerita berdasarkan fabel, dengan jumlah kata maksimal 400. Itu pun nasib naskahku belum jelas juga, apa termasuk yang berhasil lolos atau justru gagal. Masih deg-degan menunggu hasilnya hingga sekarang.

Sedangkan, antologi bersama IIDN ini ceritanya bebas saja, yang ditentukan jumlah katanya maksimal 1000, yang berarti lebih panjang dari yang sebelumnya.

Aku masih bersemangat menyelesaikan setiap tantangan menulis yang diselenggarakan komunitas, maupun menuntaskan beberapa proyek menulis antologi. Bagiku, semua tugas menulis kuanggap penting. Contohnya mengikuti tantangan odop estrilook, meskipun tak ada sangsi bagi yang terlambat setor postingan. Aku tetap berusaha menerbitkan tulisanku setiap hari. Tepat waktu dan tanpa rapel, dan sejauh ini aku masih mampu memenuhi tantangan tersebut. Entah bagaimana nantinya. Aku hanya berharap, aku akan berhasil juga kali ini. Demi diriku sendiri yang bercita-cita menjadi penulis.


#Postingan ini diikutsertakan pada tantangan one day one posting bersama Estrilook Community

#day21
Monday, January 21, 2019 No komentar
Aku menengok ke arah bangku sepupuku Hanirah. Dia sedang meletakkan kepalanya di meja. Tampaknya ada yang tak beres dengannya. Tatapannya lemah dengan ekspresi seperti orang kedinginan dan menahan sakit.

Sumber Foto. Pixabay

“Kamu kenapa, Rah? Sakit?” tanya Ipat sepupuku yang lain sambil meraba dahi Hanirah.

Hanirah tak menjawab. Ia hanya  menampakkan wajah yang kian menderita.
Untungnya, tak lama kemudian ibu Mursini masuk kelas, hendak memeriksa apakah tugas menulis sudah dikerjakan oleh kami

“Ibu, Hanirah sakit, Bu, dahinya panas!” lapor Ipat
Ibu Mursini segera menghampiri bangku Hanirah.

“Kamu kenapa? Sakit? “ selidik beliau sambil meraba dahi Hanirah.
Hanirah hanya diam, tak berani berkata jujur.

Salah satu sifat kebanyakan kami yang berasal dari keluarga petani miskin, adalah kurang berani terus terang mengenai apa yang kami rasakan. Selalu ada perasaan sungkan dan tak nyaman jika harus berterus terang. Takut salah, takut menyinggung perasaan orang. Efeknya, kami terlihat seperti anak yang penurut ketika berada di sekolah, walau faktanya sering terjadi sebaliknya.

Setelah ibu Mursini bertanya berulang kali, disertai sikap tak akan menyalahkan apa pun yang dikatakan Hanirah.

Hanirah pun mengangguk lemah, mengiyakan kalau ia memang merasa tak enak badan.

“Kalau begitu kamu sebaiknya pulang saja, ya, diantar sama kakakmu Unir!” perintah ibu Mursini.

Hanirah hanya merespons dengan mengangguk lemah, tetap tidak berkata sepatah kata pun.

Pada akhirnya tak hanya Unir sang kakak, yang di tugaskan mengantarnya ke rumah. Aku dan para sepupu Ipat, Idei, Imil juga turut serta dalam rombongan pengantar orang sakit.

Walau tak mengerti mengapa, untuk mengantar satu orang sakit saja di perlukan hingga 5 orang yang menyertai. Apakah maksudnya kami berlima harus bergantian menggendong Hanirah menuju rumahnya? atau haruskah kami ber 6 menggotong Hanirah jika dia pingsan atau sudah tak mampu lagi melangkah? Mengingat kendaraan yang umum dipakai di kampung kami hanyalah sepeda, dan tak ada satu pun dari kami yang menggunakan sepeda, sementara jarak tempuh menuju rumahnya Hanirah tak kurang dari 3 kilo meter lagi. Pasti itu maksud penugasan kami.

Bukan tugas yang mudah, tapi entah mengapa kami tak keberatan melaksanakannya. Kira-kira jauh lebih ringan tugas menggotong orang sakit, dari pada harus menanggung rasa bosan mencatat tugas di dalam kelas. Toh, kami ditemani Unir kakak perempuannya Hanirah yang bertubuh bongsor. Biarlah tugas menggendong Hanirah diserahkan saja padanya.

Sepanjang jalan kami bercanda, dan tertawa tak memedulikan kondisi Hanirah yang  demam. Kami terus saja saling meledek satu sama lain. Benar kata orang hilir, tertawa dan keriangan itu cepat menular. Hanirah yang tadinya terlihat lemah pun ikutan tertawa dan bercanda juga. Bahkan, ia semakin sering minta turun dari gendongan Unir untuk berjalan kaki bersama kami.

Sebenarnya, jarak sekolah dengan rumah Hanirah tak terlalu jauh. Akan tetapi akibat di antara sekolah, dan jalan menuju rumahnya terbentang sebuah waduk yang luas. Terpaksa jalan yang dilalui harus memutari waduk, membuat perjalanan 2x lipat semakin jauh.

Tak terasa kami sudah setengah perjalanan, dan semakin dekat dengan tempat pemandian umum, tempat warga biasa mencuci dan mandi. Tempat pemandian itu sederhana saja. Berupa beberapa lembar papan, yang di topang dengan tiang sehingga tercipta tempat yang lapang, dan nyaman untuk kebutuhan mandi dan mencuci.

Sedangkan bagi kami, tempat pemandian itu salah satu tempat favorit untuk bersenang-senang. Menceburkan diri ke dalam kolam dengan gaya sesukanya, entah dengan gaya berjumpalitan, salto atau jungkir balik. Sensasinya sangat luar biasa. Makanya, kami senang berlama-lama menghabiskan waktu di kolam ini. Prinsipnya, tak akan pulang sebelum jari-jari menjadi keriput, bibir membiru, mata memerah, rambut kusut dan badan menggigil kedinginan.

Tepat berada di jalan menuju tempat pemandian. Tanpa ada yang memberi komando, seolah-olah komunikasi batin kami menyambung begitu saja, dan semuanya sepakat, tiba-tiba kami sudah berlari dengan riang menuju tempat mandi, segera melempar tas, membuka topi, melepaskan kaos kaki dan sepatu.

Kemudian, Byuuurrr ... byuurr ... byuurrr ... Byuurrr

Kami semua sudah berada di dalam kolam, termasuk sepupuku Hanirah yang tadinya mengaku sakit. Sepertinya kolam itu telah menyembuhkannya.

Tamat

#Postingan ini diikutsertakan pada tantangan one day one posting bersama Estrilook Community

#day20





Sunday, January 20, 2019 No komentar
Tidak hanya menyediakan Sekolah untuk tempat belajar. Pemerintah juga menyediakan buku pelajaran sebagai sumber dan bahan ajar secara gratis. Tapi karena jumlah siswa yang melebihi ketersediaan buku. Buku yang ada hanya dipinjamkan saja kepada siswa, melalui perpustakaan.


Sumber Foto. Pexels.com


Aku masih belum bisa membaca, begitu juga dengan sebagian besar sepupu, yang sekelas denganku. Meski demikian, kenyataan tersebut tidak menyurutkan kami, untuk ikut-ikutan latah meminjam buku dari perpustakaan. Alasannya, untuk belajar membaca di rumah.

Berhubung kami hanyalah anak-anak dari petani sawit yang miskin. Jangan membayangkan kami memiliki tekad baja mengukir prestasi, kalau hal-hal biasa seperti mendapat nilai 100 pada pelajaran berhitung saja, jarang diraih. Tak heran kami begitu haus pujian.

Demi mendapatkan predikat keren atau hebat ini kami bahkan bersaing dalam segala hal.
Termasuk hal-hal sepele nan remeh. Kamu hebat, jika berhasil makan sambal dari 5 biji cabai, mengangkat air dari sumur ke rumah lebih dari 5 putaran, pulang lewat kuburan senja hari sendirian, memanjat pohon jambu sampai ke pokok yang tertinggi, menghabiskan nasi sepiring tanpa lauk, dan selamat dari kejaran itik japun.

Tak lupa tentunya, persoalan membaca pun tak luput dijadikan ajang berbangga.

“ Aku sudah membaca 2 halaman.”

“ Aku 3 halaman.”

“ Aku 4 halaman.”

“ Aku 10 halaman, tapi mulai halaman 2- halaman 10 Mamakku yang bantu membacakannya” ujar sepupu Ai. Jawaban yang sukses membuatku terperangah.

Begitu rupanya, ternyata tak ada aturan khusus yang harus ditaati, agar menjadi yang terdepan dalam urusan membaca ini, karena dalam praktiknya kami boleh dibantu siapa saja. Iyalah, sejak kapan anak dusun seperti kami meributkan proses, jika hasil akhir jauh lebih bisa dibanggakan.

Sumber Foto. Pexels.com


Ya, namanya saja ajang untuk berbangga. Tak peduli bukunya betulan di baca, atau hanya dielus-elus dan di pandangi saja gambar-gambarnya, sembari mengkhayal isi tulisan yang tertera, atau minta bantuan siapa pun untuk melahap halaman demi halaman, agar semakin banyak tanda si buku telah di baca. Semua itu sebenarnya tak terlalu penting, karena sejatinya tak seorang pun di antara kami sepupuan ini yang bisa membaca.

Iya, kelas 1 SD kami memang belum bisa membaca. Mengeja saja sulit apalagi membaca.

Jadi, bukan soalan bisa membaca yang di lomba kan di sini. Mengingat, tujuan lomba ini hanya buat menyombongkan diri semata. Maka, yang terpenting hasil finalnya, berapa banyak halaman yang sudah kita pandangi lengkap dengan gaya pura-pura membaca yang sudah kita kerjakan. Itulah dia si pemenangnya.

Tugas menulis ini walau melelahkan tapi setidaknya tak menguras otak untuk berpikir. Percayalah, bagi kami anak-anak dusun, kegiatan yang menguras tenaga jauh lebih cocok dari pada yang menggunakan otak.

Aku mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kelas. Dan aku mendapati sebagian besar siswa asyik bersantai. Ada yang bercanda dengan teman sebangku, bermain karet tangan, menggambar, hingga yang bermalas-malasan dengan cara merebahkan kepala di atas meja.
Jam pulang masih lama. Tapi, apalah daya kebosanan ini sudah menumpuk.

Bersambung ...

#Postingan ini diikutsertakan pada tantangan one day one posting bersama Estrilook Community

#day19

Sunday, January 20, 2019 No komentar
Tak seperti bayanganku sebelumnya. Ternyata sekolah itu membosankan. Lebih banyak waktu untuk belajar dari pada bersantai. Mana pelajarannya banyak pula. Ada pelajaran menulis, berhitung, mengeja dan membaca. Ah, Tahu begini, lebih baik ditunda saja masuk sekolahnya, jadi tahun depan atau dua tahun lagi!

Sumber Foto. Pexels.com

Satu-satunya pelajaran, yang cukup menyenangkan dari sekian mata pelajaran. Adalah pelajaran kesenian. Saat semua siswa boleh menggambar bebas atau bernyanyi bersama. Selebihnya, membosankan!

Pak Fuji, wali kelas kami tak terlihat kehadirannya di sekolah, ia hanya menitipkan tugas menulis saja. Mengingat ini jam setelah istirahat, tugas yang diberikan hanya menyalin tulisan dari papan tulis, untuk latihan mengeja di rumah.

Kampung kami desa pait 1 adalah desa transmigrasi yang masih tertinggal. Tak banyak orang mampu secara ekonomi di sini. Meski demikian, upaya pemerintah untuk memberantas buta huruf dilakukan dengan serius.

Buktinya. Ada 4 Sekolah Dasar yang tersebar di sini. SDN 050, SDN 051, SDN 052 dan SDN 053. Namun hanya 3 Sekolah yang terpakai. Sedangkan SDN 050 di biarkan kosong karena tak ada muridnya.

Aku, sekolah di SD 051 yang jaraknya sekitar 1 km ke arah barat. Dilingkaran  kekerabatan keluarga, aku tak sendiri menuntut ilmu di sana, sebagian besar sepupuku juga bersekolah di tempat itu. Sebagian besar sepupu?

Iya. Warga kampung kami, sebagian besar berprofesi sebagai petani, dengan tingkat kesejahteraan di bawah rata-rata. Harta berharga yang menjadi sumber hiburan, dan informasi hanya radio, makanya, hampir setiap keluarga punya banyak anak.

Bagi masyarakat kelas bawah yang hidupnya lebih banyak dihabiskan untuk bekerja di ladang atau kebun. Tak banyak hiburan yang tersedia. Satu dari sedikit hiburan yang bisa didapatkan dengan gratis adalah membuat anak, sehingga keluarga berencana ( KB) yang digalakkan pemerintah, untuk menanggulangi tingkat kelahiran yang tinggi, malah di plesetkan jadi Keluarga Besar. Makna lain KB berarti, silakan tambah anak sebanyak-banyaknya, maka hidupmu akan kaya. Bukankah, banyak anak akan banyak rezeki?

Tak heran ke mana pun wajahku menghadap, selama berputarnya masih di kampung ini. Pasti selalu berhadapan dengan keluarga. Entah itu sepupu, paman, datok, nenek, yang masih ada hubungan kekeluargaan dengan kami.

Termasuk di sekolah. Mulai kelas 1 hingga kelas 6 hampir bisa dipastikan ada sepupuku. Sepupu sekali, sepupu dua kali, sepupu tiga kali, atau sepupu sekali, sepupu dua kali dan tiga kalinya dari keluarga Mamak. Hingga anak dari sepupunya nenek, atau sepupu tiga kalinya datok. Pusing, kan? Sama, aku juga pening. Tapi begitulah adanya, kalau hampir satu kampung adalah keluargamu.

Bersambung ...

#Postingan ini diikutsertakan pada tantangan one day one posting bersama Estrilook Community

#day18

Friday, January 18, 2019 No komentar
Tema menulis bahagia hari ini adalah memasak. Eits, jangan buru-buru beranggapan, aku memasak sesuatu yang wah dengan bumbu berat nan susah. Sama sekali tidak.



Hari ini aku justru masak yang simpel-simpel saja. Berhubung harinya mendung, inginnya menikmati makanan olahan rumah, tapi lagi malas masak yang berat-berat. Maka, diputuskanlah, menunya asem-asem ikan saja. Gampang membuatnya, dan rasanya pun menyegarkan.

Musim durian, sepertinya enggak lama lagi akan berakhir. Hal tersebut bisa dilihat dari lapak Acil penjual ikan, yang kembali terisi ikan, setelah sempat membuat galau para Mamak, akibat beliau beralih profesi menjadi penjual durian beberapa waktu lalu. Ah, syukurlah! Setidaknya, sekarang aku enggak kebingungan lagi, harus beli ikan ke mana.

Durian berkurang, ikan tersedia kembali, dan pilihannya pun banyak. Tapi, sayang harganya sedang melonjak naik. Menurut Acil penjual, kenaikan ini ada hubungannya dengan air sungai yang pasang. Membuat kegiatan menangkap ikan lebih sulit dibanding biasanya.

Ya, enggak papa. Beli saja sesuai kemampuan. Aku pun memutuskan membeli ikan jelawat ¼ kg, ikan layang ½ kg, dan ikan kecil-kecil enggak tahu namanya*wkwkwk* juga sebanyak ½ kg. Beli ikan sampai tiga macam, padahal jumlah penghuni rumah cuma bertiga. Banyak amat! Hihi ...

Ikan-ikan tersebut enggak habis sekali makan, kok. Cukup buat persediaan sampai tiga hari. Dimasak setengah matang, kemudian disimpan di kulkas. Jadi, saat hendak dikonsumsi tinggal dipanaskan saja. Idealnya, sih, dimakan sekali habis dalam sehari, tapi kalau ingat kegiatan bolak-balik ke pasar yang merepotkan. Cara ini adalah pilihan supaya tidak harus ke pasar setiap hari.

Oke, berikut ini resep asem-asem ikan layang ala Mamak Danish, ya. Cekidot:

Bahan-bahannya:

- Ikan Layang ½ kg
- Bawang merah 5 siung iris kasar
- Bawang putih 4 siung iris kasar
- Jahe 3 cm iris kasar
- Kunyit 3 cm iris kasar
- Tomat 3 buah belah 4       
- 1 batang serai/ 1 ikat kemangi

Cara membuatnya sangat gampang. Semua bahan direbus jadi satu, dan beri garam. Tunggu mendidih. Tes rasa. Angkat, dan hidangkan!

Sangat mudah, bukan? Selamat mencoba!

#Postingan ini diikutsertakan pada tantangan one day one posting bersama Estrilook Community

#day17







Thursday, January 17, 2019 No komentar
Pertengahan bulan Januari ini, waktu mendadak terasa pendek. Berbagai kelas menulis yang diikuti, sebagian besar dimulai pertengahan bulan, seperti, kelas ghost writer, kelas menulis artikel, kelas fiksi dan kelas pj antologi.



Beruntung, tak semua kelas memberi tugas. Mengingat, lumayan banyak tugas menulis yang menunggu diselesaikan. Tapi, tetap saja, membaca kemudian mencerna materi dari semua kelas-kelas tersebut membutuhkan waktu.

Dari semua kelas, ada tiga yang waktu belajarnya bertepatan. Kelas ghost writer, kelas menulis artikel dan kelas fiksi. Bingung-bingung seru rasanya, manakala, kita fokus pada satu kelas. Enggak tahunya, kelas satunya juga dimulai dan sudah berjalan dari tadi. Jadilah, mata ini mondar-mandir dari satu grup ke grup yang lain demi mengikuti semua kelas-kelas tersebut.

Lain kelas, lain lagi tugas menulis. Kendati sedang mengisi gelas kosong dengan ilmu baru, bukan berarti bersantai juga. Tak kurang, sederet pekerjaan rumah menulis sudah menanti untuk diselesaikan.

Tugas-tugas dari kelas menulis artikel. Ada yang tenggat waktu dikumpulnya hari ini, dan ada juga yang 2 hari lagi. Itu belum termasuk kewajiban mengumpulkan outline antologi romance yang berakhir pada tanggal 18. Kemudian penyetoran naskah antologi anak dari IIDN, yang berakhir tanggal 21 mendatang. Setoran tantangan menulis one day one posting bersama Estrilook. Revisi naskah buku solo, dan naskah antologi tentang kakak ipar.

Jika dibandingkan penulis-penulis profesional, yang sudah punya jam terbang tinggi, yang kulakukan saat ini masih belum ada apa-apanya. Ditinjau dari segi kerepotan, masih kurang sibuklah.

Bayangkan, salah seorang penulis senior ada yang menulis buku hanya butuh waktu 2 minggu, dengan perincian menulis 10 lembar/ hari. Padahal, ia punya anak kecil. Bukan main hebatnya, ya. Sementara, menulis dan revisi masing-masing selembar sehari saja, sudah membuatku kerepotan. Repot mencari ide dan cara terbaik menuangkannya ke dalam tulisan.

Itulah bedanya antara penulis pemula dan senior, yang sudah malang melintang di dunia menulis. Bedalah, ya.

Tapi, meskipun tak sebanding dengan mereka yang sudah hebat, tetap tidak berkecil hati. Terus saja belajar dan berlatih. Semoga suatu hari nanti bisa menyamakan para senior-senior ini.

Disamping, ada satu hal yang ingin terus kujaga. Tetap menulis dengan bahagia. Mengutip perkataan bu ketua IIDN, sebaiknya, tantangan menulis setiap hari ataupun tugas deadline menulis yang dikerjakan saat ini, jangan sampai membuat seorang penulis, kehilangan kenikmatan menulis. Konsisten menulis setiap hari adalah tujuan penulis, tapi, kehilangan kenikmatan menulis saat mengejar konsistensi tersebut, adalah bencana yang harus dihindarkan.

Menulislah dengan bahagia, karena menulis itu membahagiakan!

Sumber Foto:pexels.com

#Postingan ini diikutsertakan pada tantangan one day one posting bersama Estrilook Community

#day16



Thursday, January 17, 2019 No komentar
Beberapa hari yang lalu. Aku cerita ke suami, kalau seseorang mengabaikanku alias bersikap cuek. Kubilang juga ke suami, bahwa aku enggak marah menerima perlakuan tersebut. Boleh jadi, ia bersikap demikian sebagai reaksi terhadap sikapku, yang juga pernah tak acuh terhadap dirinya.

Sumber Foto. Pexels.com


Suamiku pun berkata “Cuek-mencueki itu biasa aja, kita pun sering begitu sama orang lain. Enggak perlu dimasukin hati”

Iya, aku setuju dengan pendapat suamiku ini. Dalam pergaulan antar sesama. Hal tersebut lumrah saja terjadi, gesekan-gesekan kecil, benturan-benturan ringan hingga berat, yang berujung pada saling mengabaikan, menimbulkan riak-riak kekesalan dan perasaan tidak nyaman. Padahal, penyebabnya mungkin sepele saja.

Kejadian seperti ini tentu saja merupakan ujian kedewasaan. Bagaimana cara mengelola perasaan, saat harus berhadapan dengan situasi kurang nyaman. Agar reaksi yang keluar enggak merusak kenyamanan semua orang.

Jujur, enggak mudah untuk selalu menjadi bijak. Kadang, ada saat-saat tertentu ingin rasanya memanjakan hati. Bertingkah egois. Terang-terangan menunjukkan rasa tersinggung, marah dan kesal. Menghambur kemarahan ke sana-kemari, hingga bertarung mati-matian memanjakan emosi.

Tapi, tentu saja sikap tersebut ada efek sampingnya. Selain, akan membuat orang lain menjauh, mengucilkan diri kita. Menanggung rasa malu sehabis mengumbar emosi, akan menimbulkan rasa sesal di hati. Dua akibat yang sama-sama tak mengenakkan. Makanya, kalau tidak siap menghadapi risiko ini, lebih baik pikir-pikir dulu sebelum bertindak.

Tapi, kita kan manusia biasa. Enggak bisa selalu mengorbankan perasaan sendiri demi ketenangan dunia. Orang lain berbuat sekehendak hatinya. Masa kita santai saja, enggak boleh tersinggung, enggak boleh marah.

Tetap boleh, kok. Aku pun sering juga tersinggung. Namun, belajar dari pengalaman terdahulu, tidak semua perbuatan buruk orang lain harus di balas. Kadang, ada yang lebih baik di bawa bersabar saja. Apalagi, kalau persoalannya sepele. Tak perlu banyak drama, tidak membesar-besarkan, alias mengabaikannya, seolah-olah tak ada yang terjadi adalah pilihan bijak.

Terus, bagaimana jika rasa tersinggungnya sudah tak tertahankan lagi? Biasanya, aku akan menghindar dulu. Menjauh dari orang atau kelompok tertentu, sampai aku mampu menguasai perasaanku lagi. Bahkan, aku tak segan-segan menolak ajakan atau undangan orang lain, demi menenangkan diri. Aku benar-benar harus menjauh dari siapa pun saat emosi.

Cara ini cukup efektif untukku dalam mengurangi dampak kekesalan hati, dan hubungan dengan orang lain pun enggak rusak atau pun hancur.

Dengan catatan, kemarahan yang dimaksud di atas adalah kemarahan dalam hal-hal duniawi saja. Bukan berkaitan dengan agama. Sebagai manusia beragama, kita wajib marah saat ada yang menghina agama kita.

Ya, begitu saja.

#Postingan ini diikutsertakan pada tantangan one day one posting bersama Estrilook Community

#day15


Wednesday, January 16, 2019 No komentar
Saat ini aku memang lagi fokus belajar menulis. Agar tulisanku semakin membaik, aku sengaja mengikuti berbagai kelas. Mulai kelas menulis artikel, kelas menulis cerita anak dan yang terakhir menulis cerita fiksi.



Walaupun, sudah pernah mengikuti kelas menulis artikel, dan jebol media di Joeragan Artikel. Bahkan, tulisanku pun sempat tayang sebanyak 4x di takaitu.

Aku tetap ingin menambah ilmu dan meningkatkan kemampuan menulis artikelku, supaya bisa menembus media yang lebih besar. Oleh karena itu, aku pun mengikuti kelas menulis artikel yang diselenggarakan oleh Estrilook

Mengapa aku mau repot-repot belajar menulis artikel, padahal aku tahu persis, target yang ingin kucapai dalam dunia menulis, hanyalah ingin menulis buku dan antologi saja.

Namun, aku tetap memutuskan belajar menulis artikel, siapa tahu ilmu yang kudapat berguna ketika memutuskan ingin mendapat penghasilan dari menulis, dan menulis artikel bisa ditekuni untuk tujuan tersebut. Para seniorku telah membuktikannya.

Aku juga mencoba menulis cerita anak. Memang aku ada niatan, suatu hari kelak aku ingin menulis buku buat anak. Tujuan paling utamanya, sih, sebagai tanda kasih kepada putra semata wayangku, Danish.

Kebetulan, beberapa waktu yang lalu ada iklan yang menawarkan belajar menulis cerita anak. Aku langsung berminat. Apalagi pas tahu, Wonderland Family  sebagai penyelenggara bekerja sama dengan Elexkidz salah satu penerbit mayor. Tanpa berpikir panjang, aku langsung mendaftar.

Waktu itu, kami mendapat tugas membuat cerita anak, dengan panjang tulisan maksimal 400 kata, dan bagi yang naskahnya terpilih akan dijadikan antologi.

Masalahnya, aku belum punya pengalaman sama sekali dalam menulis cerita anak, dan sedikit kesulitan saat harus menciptakan konflik. Ditambah, cerita yang harus disetor adalah fabel. Kendati demikian, aku tetap mencoba menulis dan berhasil mengumpulkan naskahku tepat waktu.

Sampai saat ini aku masih belum tahu, apakah naskahku menjadi salah satu yang lolos atau tidak. Apa pun hasilnya, aku sudah siap. Kalau naskahku diterima, tentu saja aku gembira sekali, tulisanku terbit di penerbit mayor. Tapi kalau pun tidak lolos, aku tidak berkecil hati. Akan terus mencoba dan mencoba lagi.

Untuk yang terakhir, aku juga mengambil kelas fiksi. Alasanku mengikuti kelas ini, karena merasa kesulitan saat menulis fiksi. Padahal, aku suka baca novel, seharusnya aku punya gambaran bagaimana membuat cerita tersebut.

Saking inginnya bisa membuat fiksi, aku bahkan mengikuti dua kelasnya. Ada yang belajarnya bulan ini dan ada juga yang bulan April nanti.

Lucunya, sudah tahu enggak bisa bikin cerita fiksi, aku malah nekat ikut menulis antologi romance. Terbingung-bingung saat premisku dinyatakan lolos, dan harus putar otak saat diminta menyetor outline. Mungkinkah aku mampu merampungkan tantangan kali ini? Biarlah waktu yang menjawabnya. Tugasku hanyalah berusaha sekuat tenaga.

#Postingan ini diikutsertakan pada tantangan one day one posting bersama Estrilook Community

#day14


Monday, January 14, 2019 No komentar
Hai, Bloggers!

Mau berbagi perasaan dulu, nih, ya...

Sudah menjadi takdir keluarga pengadilan, yang namanya meninggalkan dan ditinggalkan. Hari ini kami memang yang ditinggalkan. Tapi, entah besok, lusa atau setahun dua tahun berikutnya pasti gantian kami yang meninggalkan Muara Teweh. Untuk hari ini, kami berada pada posisi ini. Mengantar keluarga teman yang pindah ke Tamiang Layang, mengikuti suaminya yang bertugas di sana.



Padahal, rasanya baru saja kemarin berkumpul bersama mereka. Berbagi duka dan kesenangan, kesana kemari bersama, dan hari ini harus sudah berpisah. Menempuh jalan hidup masing-masing, membangun kedekatan dan persahabatan dengan orang-orang baru.

Inilah takdir kami, yang menjadi bagian dari keluarga peradilan. Suami yang bekerja di sini, harus mengalami mutasi setiap berapa tahun sekali, mengakibatkan hidup kami  harus pindah kesana-kemari.

Ada suka dukanya tentu saja. Sukanya, keluarga kami salah satu yang beruntung bisa menginjakkan kaki ke banyak daerah di Indonesia ini. Berkesempatan kenalan dengan banyak orang, mempunyai keluarga baru di mana-mana, bersentuhan dengan budaya tertentu, mencicipi kuliner berbeda, dan lain-lain.

Namun, ada dukanya juga. Salah satunya, ya, ditinggalkan dan meninggalkan ini. Bagaimana tidak, baru saja rasanya akrab sudah harus berpisah. Sementara, bertemu orang baru kita harus mulai dari bawah lagi, penyesuaian lagi. Rasanya, kadang sangat melelahkan harus menyesuaikan diri terus-menerus dengan orang baru.

Tapi, ya, mau bagaimana lagi. Inilah konsekuensi punya suami berprofesi sebagai hakim. Tetap harus bersyukur, walaupun tak bisa punya harta banyak, enggak bisa koleksi tupperware, beli rumah belum tentu ditinggali akibat hidup yang sering berpindah. Setidaknya, gaji suami masih cukup buat memenuhi kebutuhan hidup.

Makanya, gara-gara hidup tidak menetap ini, banyak istri hakim yang memilih tidak berkarier, walaupun pendidikan terakhirnya sarjana. Kalau pun toh harus bekerja juga, biasanya kami mencari pekerjaan yang tidak mengikat. Jadi, kapan-kapan suami pindah, kami bisa berhenti untuk mengikuti suami.

Termasuk aku sebelum punya anak. Kendati, sejak awal inginnya mendaftar PNS, pada akhirnya aku memilih bekerja tak terikat saja. Mengajar dari satu sekolah ke sekolah lain, menjadi guru honorer selamanya.

Masalahnya, sudah banyak contoh, istri-istri hakim yang menjadi PNS. Akibat mengurus pindah yang sulit dan berbelit, banyak di antara mereka yang memilih tak mendampingi suaminya, alias hidup terpisah sebagai suami istri. Pilihan sulit namun harus tetap diambil. Dari pada sayang melepaskan karier yang dibangun dengan susah payah. Jadi, memilih bersabar saja hidup berjauhan dari suami.

Ya, demikianlah cerita hidup kami. Jalani dengan penuh syukur meskipun tak selalu indah. Mencoba menangkap pesan tersirat, bahwa, setiap pilihan ada konsekuensinya. Kita tidak boleh serakah, ingin mendapatkan semua kenikmatan tanpa bersiap kehilangan.

#Postingan ini diikutsertakan pada tantangan one day one posting bersama Estrilook Community
#day13


Sunday, January 13, 2019 No komentar
Hai, Bloggers!

Dalam hidup kita pasti pernah, atau bahkan sering mengalami perasaan terhina, atau terluka akibat sikap dan perbuatan orang lain. Rasanya sangat tidak menyenangkan, ya. Membuat perasaan jadi sedih, kecewa bahkan marah. Kalau menuruti hati. Ingin sekali rasanya balas menyakiti orang yang telah melukai kita. Biar dia tahu bagaimana rasanya disakiti.



Aku pun pernah mengalami perasaan tersebut. Malah tidak hanya sekali, tapi berulang kali. Bedanya, ada perbedaan cara mengatasinya antara dulu dan sekarang.

Kalau dulu saat merasa tersinggung, aku selalu mencari cara, agar bisa melampiaskan kemarahanku kepada orang yang telah menyakiti. Biasanya aku memprotes atau berbicara langsung.
Prinsipnya, aku tak sudi menanggung rasa kesal dan marah sendirian. Sementara, orang yang telah menyakitiku hidup tenang dalam kedamaian. Masih menurutku, ia harus tahu perbuatan dan tindakannya melukai dan menyakitiku.



Cara ini terbukti membuatku merasa lega dan plong. Tidak ada lagi ruang bagi  kemarahan di dalam hati, karena semua rasa sudah diutarakan.

Namun, lama-kelamaan ada efek negatifnya juga dari pembawaan ini. Ya, iyalah. Akibat terlampau berani mengutarakan perasaan. Aku jadi sering berseberangan dengan siapa saja. Tidak peduli atasan, teman atau keluarga, jika sudah membuatku merasa terhina, aku pasti akan memprotes atau melawannya. Membuatku sering terlihat, seperti seorang tukang pukul yang selalu siap tempur *wkwkwkwk*

Itu dulu. Sekarang aku belajar mengendalikan sikap asertif yang kebablasan tersebut. Aku berusaha mencari cara, supaya mampu mengelola emosi saat merasa terhina atau tersinggung.

Caranya, ketika ada yang merendahkan atau menyinggung perasaanku. Aku curhat kepada suami. Hanya saja, aku tidak berfokus menyalahkan si pelaku, tapi, justru hanya berpusat kepada perasaanku saja. Mengapa aku tersinggung? Masa begini saja terluka? Menghadapi perasaan sakit ini, apa perlu kulampiaskan balik saja kepada si pelaku atau bersabar? Apakah kemuliaan diriku akan ternoda akibat perbuatan orang tersebut atau justru tidak ada pengaruhnya? Dan seterusnya.

Dengan cara ini, biasanya, aku bisa mengidentifikasi. Apakah reaksiku hanya berdasarkan ego semata. Apakah reaksiku adalah marah atas alasan yang benar atau hanya menuruti ego semata? Apakah kemarahan ini akibat memandang diri terlampau tinggi, sehingga aku punya perasaan diriku tak layak menerima perlakuan ini. Tak ada seorang pun yang boleh merendahkanku, dan lain sebagainya.

Nah, kalau sudah ketemu jawabannya. Aku tinggal menata hati saja. Kalau jawabannya berdasarkan ego yang disebutkan di atas. Maka, perasaan marah ini harus dijinakkan apa pun caranya, karena motifnya sudah berbahaya. Bisa menggiring si pemikirnya menjadi sombong dan tinggi hati.

Loh? Tapi, dia memang mengesalkan. Kenapa aku harus bersabar?  Bukannya lebih mudah menyalahkan dia saja. Pelaku, yang menjengkelkan karena ketidakmampuannya menjaga perasaan orang. Membuatku jadi terluka begini. Salahkan saja dia. Beres, kan!

Oke. Pernyataan itu pun betul juga. Memang betul si pelaku adalah orang yang mengesalkan, membuat marah sehingga  otak ini rasa mendidih ingin menumpahkan rasa kesal, dan sumpah serapah.

Tapi, masalahnya, kalau setiap perbuatan buruk orang lain selalu dibalas dengan reaksi negatif, lantas, kapan kita belajar menjadi arif dan bijaksana. Belajar bersabar memahami orang dan segala kelemahannya. Belajar berpikir keren, bahwa keburukan orang seharusnya tidak mengendalikan kita. Terluka sebentar, iya, tapi membuat kita menjadi sama buruknya dengan dia, semoga tidak. Belajar memetik hikmah bahkan dari kejadian tak menyenangkan sekali pun.

Bukankah jadi orang baik dan sabar itu susah? Kenapa tidak menjadikan ini sebagai kesempatan belajar?

Kendati, kenyataannya bersabar tak pernah mudah. Apalagi aku orangnya begini, temperamental sejak lahir*wkwkwk* menulisnya, sih, enteng saja. Tinggal ketak-ketik. Praktik di lapangan sama sekali berbeda, harus rela berdarah-darah dan bersimbah airmata. Beratnya luar biasa. Hanya saja, sayangnya, tak ada cara lain menuju kebijaksanaan tanpa melalui jalan ini.

O, iya, agar bersabar tak terlampau menyiksa diri. Biasanya, aku mengingat formula ini; orang lain punya kekurangan, sama denganku yang juga punya segunung kelemahan.

#Postingan ini diikutsertakan pada tantangan one day one posting bersama Estrilook Commumity

#day12








Saturday, January 12, 2019 No komentar
Hai, Bloggers!

Kita masih di serial nomaden, ya ...
Kali ini tentang Nasyiatul Aisyiyah

Nasyiatul Aisyiyah, adalah organisasi remaja putri, yang merupakan salah satu organisasi otonom Muhammadiyah. Organisasi yang berdiri pada tanggal 28 dzulhijjah 1345H, atau bertepatan dengan tanggal 16 Mei 1931. Sumber :Wikipedia.org

Organisasi ini biasanya dikenal juga sebagai organisasi Puterinya Muhammadiyah. Dengan kata lain Nasyiatul Aisyiyah adalah penyambung estafet perjuangan Muhammadiyah dalam mengemban misi menyampaikan dakwah amar ma'ruf nahi munkar dengan menyasar pembinaan dan pencerahan pada remaja putri dan ibu-ibu muda.



Perkenalan pertamaku dengan Nasyiatul Aisyiyah saat masih menjadi guru di SMK Muhammadiyah Sampit. Kebetulan, salah satu guru yang bernama ibu Etty Silviani adalah sekretaris umum Pimpinan Daerah Nasyiatul Aisyiyah Kota Waringin Timur.
Mendengar aku pernah aktif di Ikatan Remaja Muhammadiyah saat kuliah. Bu Etty segera saja merekrut menjadi anggota Nasyiatul Aisyiyah Kotim.

Keikutsertaanku masuk kedalam organisasi Nasyiatul Aisyiyah menambah rasa bahagia di hati. Bagaimana tidak. Dulu, guru-guruku sering memberi nasihat. Dalam menebar kebaikan sebaiknya dilakukan berjama'ah dari pada sendirian. Selain jangkauan kebaikannya bisa lebih luas, kita pun memiliki teman untuk saling mendukung dan menyemangati.

Apa yang kulakukan sekarang sudah tepat tentunya. Bergabung dengan Nasyiatul Aisyiyah adalah upayaku ikut serta melaksanakan dakwah amar ma'ruf nahi munkar, melaksanakan dan memberikan pencerahan terhadap perempuan seperti visi dan misinya Nasyiatul Aisyiyah, yang juga sebagai perpanjangan tangannya Muhammadiyah. Berharap bisa meninggalkan jejak kebaikan walaupun kecil, bersama orang-orang yang mempunyai tujuan sama.

Selama keterlibatanku di Nasyiatul Aisyiyah Kotim, kami beberapa kali menyelenggarakan kegiatan, seperti mengadakan pesantren kilat ketika bulan Ramadan, menyelenggarakan pelatihan kader, bakti sosial, safari dakwah dan lain- lain. Biasanya untuk mengadakan kegiatan Pesantren Ramadan dan pelatihan kader kami bekerja sama dengan abang-abang dari Pemuda Muhammadiyah. Sedangkan sisanya, bekerja sama dengan Muhammadiyah, Aisyiyah dan Pemuda Muhammadiyah.

Entah, apa memang tipikal orang Sampit atau hanya kebetulan saja, namun, satu yang menjadi catatanku. Orang Sampit mudah bekerja sama. ketika di Nasyiatul Aisyiyah Kotim pun aku berjumpa dengan situasi ini di mana orang-orangnya mudah diajak bekerja sama. Kalau kami mengadakan kegiatan, gampang saja bagi kami mendapat bantuan dari Muhammadiyah, Aisyiyah, dan Pemuda Muhammadiyah. Baik bantuan dana, tenaga dan lain sebagainya. Seolah-olah semua orang berlomba-lomba menanamkan kebaikan, menyumbangkan apa saja yang ia bisa dan yang ia dimiliki.

Ada satu cerita unik soal saling membantu ini. Ketika mempersiapkan paduan suara untuk menyanyikan lagu mars Muhammadiyah, dalam rangka menyambut kedatangan pak Amien Rais. Orang yang menjadi pelatih paduan suaranya justru non muslim, yang merupakan teman dari bu Etty. Unik tapi aneh juga, apalagi saat si pelatih santai saja menyanyikan bait “al-islam agamaku, Muhammadiyah gerakanku” padahal ia sendiri penganut kristiani. Pemandangan yang sejauh ini baru kutemukan di Sampit saja.

Kentalnya suasana persaudaraan, yang saling mendukung dan bekerja sama, akan semakin terasa manakala ada event besar seperti Milad Muhammadiyah atau kedatangan tokoh pusat yang penting. Biasanya, seluruh organisasi otonom di bawah Muhammadiyah akan saling bahu membahu menyukseskan acara.

Menghadapi Milad, kerja sama dimulai dari menyiapkan lomba-lomba dalam rangka syi'ar, dan mengadakan bakti sosial juga. Tak heran, acara Milad Muhammadiyah di Kotim selalu meriah dan heboh.

Itulah, sekelumit cerita mengenai pengalamanku saat menjadi bagian dari Nasyiatul Aisyiyah Kota Waringin Timur. Semoga Nasyiatul Aisyiyah diseluruh nusantara tetap berdiri dan semakin maju agar dapat menyumbangkan tenaga dan pikiran bagi kebaikan bangsa. Dari Nasyiatul Aisyiyah untuk Indonesia.

#postingan ini diikutsertakan pada tantangan one day one posting bersama Estrilook Community
#day11








Friday, January 11, 2019 No komentar

Hai, Bloggers!

Serial Nomaden-nya kali ini tentang Primagama Sampit, ya.

Boleh di bilang, caraku mendapatkan kesempatan menjadi tentor bahasa inggris di Primagama Sampit, cukup unik.
Kejadiannya pada suatu pagi. Saat aku sedang melakukan olah raga kegemaranku, yaitu, berjalan kaki. Aku sengaja menyusuri sepanjang jalan S. Parman menuju arah taman kota. Hanya sekadar berjalan-jalan saja.



Tiba-tiba, aku dicegat seseorang. Yaitu, mbak Tri Lestari. Setahuku, ia guru bahasa inggris di SMK PGRI, yang kebetulan sekolahnya berdekatan dengan sekolah kami, SMK Muhammadiyah Sampit.

“Mbak, boleh minta tolong enggak?” ia bertanya dengan hati-hati. Soalnya, kami berdua bukan teman dekat. Hanya pernah bertemu sekali dua saja pada kegiatan guru bahasa inggris.

“Iya, kenapa?” sahutku penuh rasa ingin tahu. Aneh saja rasanya, mendapati seseorang yang tidak akrab dengan kita meminta tolong. “Ada apa gerangan?” Batinku bertanya-tanya.

“Gantikan aku menjadi tentor bahasa inggris di Primagama. Aku mau ambil cuti, ada urusan pribadi yang harusku selesaikan.” Terangnya panjang lebar.

“Oh, iya. Tapi, kok, aku yang dipilih menggantikan dirimu, mbak. Bukan yang lain?” aku kembali bertanya, penuh rasa ingin tahu. Belum memahami mengapa ia memilihku menggantikannya, dan bukan seseorang yang dekat dengannya.

Menurutnya, ia hanya bertindak spontan saja. Saat bingung mencari seseorang, yang akan menggantikan posisinya saat sedang bercuti. Kebetulan, ia melihat diriku melintas di hadapannya. Seketika saja, ide tentang siapa yang menggantikannya tertuju padaku. Iya, hanya begitu saja.

Baiklah. Setelah menimbang baik-buruk, dan untung-ruginya. Aku menyanggupi permintaan mbak Tri tersebut, dan berjanji akan melengkapi persyaratan pengajuan lamaran kerja ke Primagama. Menurut mbak Tri, surat lamaran itu untuk formalitas saja. Aku pun resmi menjadi  tentor bahasa inggris di Primagama Sampit.

Hampir sama dengan di SMK Muhammadiyah, suasana bekerja di Primagama Sampit pun sangat menyenangkan. Padahal, tentor-tentor di situ berasal dari beragam suku dan agama yang berbeda.



Ada yang suku banjar, dayak, manado, jawa, batak, bugis, sunda dan lain sebagainya. Dengan agama terdiri dari Islam, Protestan dan Katolik. Meski demikian, kami sangat akrab, pertemanan yang terjalin tidak dibatasi sekat-sekat perbedaan. Mengalir saja secara alami berlandaskan sikap saling menghormati dan saling mendukung yang tulus.

Saat paling menyenangkan tentu saja pada waktu jam istirahat. Seolah-olah sehati saja, semua tentor melebur jadi satu. Semuanya terlibat dalam riuh-rendah bercanda-tawa, saling melempar guyonan, yang membuat suasana dari ruangan yang hanya berukuran 2x3 tersebut semakin meriah dan hangat. Sungguh, lingkungan kerja yang sehat lagi menyenangkan.

Apalagi, sebagai pimpinan cabang, Pak Joko Sudarsono dan istrinya Mbak, Ana, sangat pandai menghargai jerih payah tentor-tentor-nya. Makan bersama sudah biasa kami lakukan. Tapi, yang membekas di hati adalah cara mereka memberi perhargaan-penghargaan kecil kepada kami para tentor-nya, seperti, setiap pulang rapat kami si sanguin goody bag yang berisi pulpen, notes, teh kotak dan lain-lain. Isinya, sih, biasa saja, tapi caranya menghormati dengan memberi goody bag sebagai tempat 'jatah' kami tersebut, yang sangat menghangatkan hati.



Di Primagama aku juga berhadapan dengan beragam murid, berasal dari berbagai sekolah dengan latar belakang ekonomi yang berbeda. Sempat membuatku kerepotan pada awalnya, karena murid-muridnya banyak yang pintar-pintar. Entah mengapa banyak sekali bintang kelas berkumpul di sana. Bikin kepala tentor-nya sering senut-senut. Heee!

Menyangkut murid-murid ini, kami tak selalu belajar bahasa inggris. Apalagi menjelang ujian nasional, kebanyakan dari mereka sudah puas belajar di sekolah. Sehingga, menjadikan saat-saat di Primagama hanya sebagai tempat bersenang-senang saja. Kadang mereka curhat, mengeluh tentang beban belajar yang semakin berat, tentang target-target yang harus dicapai, tentang harapan guru-guru dan orang tua mereka. Membuat kita yang melihat merasa iba.

Tapi, yang paling berkesan, saat memberi les kelas khusus menjelang ujian nasional. Kebetulan satu kelas isinya murid-murid SMA Katolik semua. Suatu ketika kami sama sekali tidak belajar. Hanya diskusi saja. Mereka bertanya dan aku menjawab. Pertanyaannya, mengenai ajaran islam. Mengapa perempuan setelah haid harus mandi bersih? Mengapa dalam islam poligami diperbolehkan, apa ibu setuju dengan poligami? Apa ibu sependapat dengan tindakan Amrozi cs mengenai bom bali? Dan lain sebagainya. Aku berusaha menjawab semua pertanyaan mereka berdasarkan pengetahuan ilmu agama yang kuketahui. Hingga tak terasa bel tanda istirahat berdentang, kami hanya membahas pertanyaan-pertanyaan tersebut saja dan sama sekali tak belajar soal-soal ujian. Sungguh diskusi yang menyenangkan!

Itulah, pengalaman menyenangkan saat menjadi tentor di Primagama Sampit. Aku mendapatkan persahabatan yang hangat dan pengalaman berharga dari sana. Salah satu tempat, yang penuh kenangan baik. Semoga Primagama Sampit semakin berjaya.

#Postingan ini diikutsertakan pada tantangan one day one posting bersama Estrilook Community
#day10


Friday, January 11, 2019 No komentar
Hai, Bloggers!

Serial Nomaden kali ini masih seputaran kota Sampit, ya.

Setelah sempat menganggur selama 8 bulan. Akhirnya aku mengajar juga, di SMK Muhammadiyah Sampit. Memang, agak sedikit terlambat dari rencana semula, yang inginnya segera mengajar saat tiba di Sampit.



Masalahnya, waktu itu belum bertemu jodoh dengan sekolah yang pas di hati. Ada tawaran mengajar, tapi dari SD. Bukannya mengerdilkan makna menjadi guru SD. Sama sekali bukan.

Hanya saja, berdasarkan pengalaman yang dulu-dulu, aku kurang cocok mengajar anak kecil. Stok sabarku yang kurang banyak kalau berhadapan dengan anak-anak. Membuatku merasa kurang nyaman mengajar SD. Itulah mengapa aku menolak saja tawaran itu, dari pada diterima tapi ujung-ujungnya malah tak menikmati. Lebih baik bersabar sajalah menunggu yang sesuai di hati.

Syukurnya, bertepatan dengan persiapan suami mengikuti diklat calon hakim di Mega Mendung, aku mendapat tawaran mengajar di SMK Muhammadiyah Sampit. Berhubung, guru yang biasanya mengampu mata pelajaran Bahasa Inggris lulus tes CPNS, maka, posisi guru tersebut menjadi kosong.

Kami mendapat informasi ketersediaan posisi guru Bahasa Inggris dari ketua Muhammadiyah Sampit, yang biasa kami panggil dengan sebutan babe Jazuli. Kebetulan, beliau ini salah satu hakim senior di Pengadilan Agama Sampit.

Tentu saja aku menerima tawaran itu dengan senang hati. Sebagai kader, yang pernah aktif di Ikatan Remaja Muhammadiyah. Bagiku, mengajar di sekolah Muhammadiyah adalah sebuah kehormatan. Rasanya, semacam mengajar di rumah sendiri. Yes, I'm home. Seperti itu.



Benar saja, mengajar di SMK Muhammadiyah Sampit, memang terbukti sangat menyenangkan. Guru-gurunya asyik dan kompak. Apalagi, jumlah dewan gurunya lebih banyak kaum Mamak-mamak dari pada Bapak-bapak. Jadi, ya, kebayang bagaimana serunya iklim bekerja di sekolah tersebut. Sebentar-sebentar bikin acara makan-makan. Ada yang ulang tahun, makan-makan. Sehabis ulangan semesteran, makan-makan. Rapat, makan-makan, dong. Bahkan, pada akhirnya tak ada momen khusus pun makan-makan juga. Siapa yang kebetulan punya uang lebih dan ingin mentraktir teman-teman se kantor, ya, makan-makan lagilah. Intinya, apa pun acaranya, makan-makan adalah wajib hukumnya.

Keseruan lainnya belum termasuk acara shopping atau perawatan bareng. Biasanya, kami melakukan kegiatan tersebut ketika sehabis ulangan atau pulang sekolah setelah gajian. Waktu itu belum ada mall seperti sekarang. Jadi, aksi shopping-nya hanya berupa muter-muter dari satu outlet ke outlet lain sampai item yang dicari ketemu. Kegiatan ini sesungguhnya berbahaya, karena akan mengakibatkan kantong bocor. Terutama bagi yang tak ada niat belanja, jangan coba-coba ikut aktivitas ini, takutnya, pulang dari sana malah membawa satu kresek belanjaan. Tekor bandarnya nanti. Hehe ...

Cerita di atas tentang gurunya. Bagaimana dengan murid-muridnya? Mereka, ya, begitu itu. Ada yang menyenangkan, manis, cerdas, dan aktif. Tapi, ada juga yang  koplak-nya minta ampun, dan doyan bikin gurunya hipertensi. Lebih-lebih yang kelasnya banyak dihuni murid putra. Menghadapi mereka membutuhkan mental baja dan kemampuan bersilat lidah di atas rata-rata, kalau tidak ingin menjadi bulan-bulanan.

Sampai ada cerita, guru fisika yang kebetulan seorang ibu-ibu manis dan cantik, tak berani masuk kelas tertentu, akibat sering di plonco muridnya sendiri. Alhasil, tiap jadwal mengajar fisika, si ibu harus ditemani ibu-ibu lain yang lebih galak, supaya proses belajar mengajarnya berjalan tertib dan lancar.



Demikianlah, cerita indah di SMK Muhammadiyah Sampit. Beruntung sekali rasanya pernah menjadi bagian dari sekolah ini. Bertemu orang-orang baik dan asyik. Semoga, SMK Muhammadiyah Sampit terus berjaya dan rekan-rekan guru di sana dilimpahi keberkahan dan kesehatan, agar bisa mendidik anak bangsa dengan baik. Aamiin!

#postingan ini diikutsertakan pada tantangan one day one posting bersama Estrilook Community

#day9








Thursday, January 10, 2019 No komentar
Newer Posts
Older Posts

About me

About Me
Hai, nama saya Golde. Saya IRT satu orang putra, yang serius menekuni dunia menulis sejak tahun 2018. Saya telah menulis sebuah buku solo, beberapa buah antologi, dan menjadi penulis artikel lepas untuk media online.

Follow Us

Labels

about me Aktivitas Blogging Cerbung Cerpen Cooking Curhatku Drama Korea Family Food Inspirasi Kesehatan Keuangan kontak saya Movie Parenting Prosa Review Training Traveling Writing

recent posts

Total Pageviews

Blog Archive

  • ►  2020 (10)
    • ►  October (5)
    • ►  February (4)
    • ►  January (1)
  • ▼  2019 (70)
    • ►  September (1)
    • ►  May (9)
    • ►  April (5)
    • ►  March (15)
    • ►  February (10)
    • ▼  January (30)
      • Gara-gara Cerpen Balada Anak Kelas Dua
      • Macam Orang Gunung
      • Serial Nomaden: Singkawang Part 4
      • Serial Nomaden: Singkawang Part 3
      • Serial Nomaden: Singkawang Part 2
      • Serial Nomaden: Singkawang Part 1
      • Saliwang
      • Kelas Rusuh!
      • Aktivitas Menulis Hari Ini 2
      • Aktivitas Menulis Hari Ini
      • Nyanyian Anak Pedalaman 3
      • Nyanyian Anak Pedalaman Part 2
      • Nyanyian Anak Pedalaman
      • Asem-asem Ikan Layang
      • Menulislah dengan Bahagia!
      • Curcol, aje!
      • Upaya Meningkatkan Kemampuan Menulis dengan Mengik...
      • Balada Nomaden
      • Mengelola Emosi Saat Merasa Terhina dan Terluka
      • Serial Nomaden: Nasyiatul Asiyiyah Kotim dalam Ken...
      • Serial Nomaden: Primagama Sampit dalam Kenangan
      • Serial Nomaden: SMK Muhammadiyah Sampit Dalam Kena...
      • Serial Nomaden : Sampit Kota Mentaya Dalam Kenangan
      • Komputer Baru dan Cerita Dibaliknya
      • Aktivitas agar Anak Tak Main Gadget
      • Sambal Bawang Paser dan Curhat Colongan
      • Buku yang Membantu Merubah Perilaku Anak
      • 3 Olahan Durian Favoritku
      • Ketungen atau Karantungan dan Layung, Wanginya Seh...
      • Hore ...! Musim Durian Tiba, Saatnya Berpesta!
  • ►  2018 (25)
    • ►  November (4)
    • ►  October (21)
  • ►  2017 (2)
    • ►  November (2)

One Day One Post Estrilook

One Day One Post Estrilook

Blogger Squad Estrilook

Blogger Squad Estrilook

Followers

FOLLOW ME @INSTAGRAM

Created with by ThemeXpose