Nyanyian Anak Pedalaman Part 2
Tidak hanya menyediakan Sekolah untuk tempat belajar. Pemerintah juga menyediakan buku pelajaran sebagai sumber dan bahan ajar secara gratis. Tapi karena jumlah siswa yang melebihi ketersediaan buku. Buku yang ada hanya dipinjamkan saja kepada siswa, melalui perpustakaan.
Sumber Foto. Pexels.com |
Aku masih belum bisa membaca, begitu juga dengan sebagian besar sepupu, yang sekelas denganku. Meski demikian, kenyataan tersebut tidak menyurutkan kami, untuk ikut-ikutan latah meminjam buku dari perpustakaan. Alasannya, untuk belajar membaca di rumah.
Berhubung kami hanyalah anak-anak dari petani sawit yang miskin. Jangan membayangkan kami memiliki tekad baja mengukir prestasi, kalau hal-hal biasa seperti mendapat nilai 100 pada pelajaran berhitung saja, jarang diraih. Tak heran kami begitu haus pujian.
Demi mendapatkan predikat keren atau hebat ini kami bahkan bersaing dalam segala hal.
Termasuk hal-hal sepele nan remeh. Kamu hebat, jika berhasil makan sambal dari 5 biji cabai, mengangkat air dari sumur ke rumah lebih dari 5 putaran, pulang lewat kuburan senja hari sendirian, memanjat pohon jambu sampai ke pokok yang tertinggi, menghabiskan nasi sepiring tanpa lauk, dan selamat dari kejaran itik japun.
Tak lupa tentunya, persoalan membaca pun tak luput dijadikan ajang berbangga.
“ Aku sudah membaca 2 halaman.”
“ Aku 3 halaman.”
“ Aku 4 halaman.”
“ Aku 10 halaman, tapi mulai halaman 2- halaman 10 Mamakku yang bantu membacakannya” ujar sepupu Ai. Jawaban yang sukses membuatku terperangah.
Begitu rupanya, ternyata tak ada aturan khusus yang harus ditaati, agar menjadi yang terdepan dalam urusan membaca ini, karena dalam praktiknya kami boleh dibantu siapa saja. Iyalah, sejak kapan anak dusun seperti kami meributkan proses, jika hasil akhir jauh lebih bisa dibanggakan.
Sumber Foto. Pexels.com |
Ya, namanya saja ajang untuk berbangga. Tak peduli bukunya betulan di baca, atau hanya dielus-elus dan di pandangi saja gambar-gambarnya, sembari mengkhayal isi tulisan yang tertera, atau minta bantuan siapa pun untuk melahap halaman demi halaman, agar semakin banyak tanda si buku telah di baca. Semua itu sebenarnya tak terlalu penting, karena sejatinya tak seorang pun di antara kami sepupuan ini yang bisa membaca.
Iya, kelas 1 SD kami memang belum bisa membaca. Mengeja saja sulit apalagi membaca.
Jadi, bukan soalan bisa membaca yang di lomba kan di sini. Mengingat, tujuan lomba ini hanya buat menyombongkan diri semata. Maka, yang terpenting hasil finalnya, berapa banyak halaman yang sudah kita pandangi lengkap dengan gaya pura-pura membaca yang sudah kita kerjakan. Itulah dia si pemenangnya.
Tugas menulis ini walau melelahkan tapi setidaknya tak menguras otak untuk berpikir. Percayalah, bagi kami anak-anak dusun, kegiatan yang menguras tenaga jauh lebih cocok dari pada yang menggunakan otak.
Aku mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kelas. Dan aku mendapati sebagian besar siswa asyik bersantai. Ada yang bercanda dengan teman sebangku, bermain karet tangan, menggambar, hingga yang bermalas-malasan dengan cara merebahkan kepala di atas meja.
Jam pulang masih lama. Tapi, apalah daya kebosanan ini sudah menumpuk.
Bersambung ...
#Postingan ini diikutsertakan pada tantangan one day one posting bersama Estrilook Community
#day19
0 komentar