“Aku menyukaimu.” Begitu dia mendeklarasikan perasaannya padamu. Kamu yang terkejut, hanya duduk mematung. Diam termangu. Tidak yakin harus berbuat apa.
Foto :Pixabay.com |
Kamu berniat memberi jawaban. Namun, belum sempat kamu menjawab rasanya. Dia pergi begitu saja. Tanpa pamit. Tanpa meninggalkan janji. Meninggalkan hatimu yang terlanjur menjadi miliknya, jadi merana. Dirinya yang menabur benih kasih, dirinya juga yang pergi. Membiarkanmu sendiri menjadi saksi saat benih itu tumbuh subur. Sekarat lalu mati.
Entah dia yang tidak peka atau kamu yang salah menduga. Menganggap posisimu penting di hatinya. Ia memang menyatakan rasa. Tapi, tak lebih dari itu. Apalagi setelahnya dia pergi begitu saja, menelantarkanmu yang terperangkap dalam harap manis cintanya.
Kamu yang tidak menyangka hal ini menimpamu, merasakan sakitnya terjebak dalam pusaran rasa cinta yang tak berbalas. Tersiksa menyumpahi rindu yang selalu meminta hak menetap di hati. Kamu sadar dirimu dibutakan ilusi, tetapi tak berdaya membebaskan diri. Mengutuknya dalam rindu tapi masih berharap dia datang kepadamu, membawa segenap rindu yang sama membuncahnya.
Butuh waktu lama bagimu menyadari, sudah tidak ada harapan lagi rasamu menjadi rasanya. Dirimu yang sudah lelah ditipu hatimu, akhirnya ikhlas membiarkan bayangnya menjauh lalu menghilang. Tidak pernah menghubungimu adalah bukti, dia memang tidak berniat menyertakanmu saat merancang masa depannya.
Katamu "Biarlah rindu ini berserakan di udara." Bertemu di titik koordinat atau tidak, terserah saja. Toh, kalau takdirmu memang terikat padanya. Dia pasti kembali.