Mengelola Emosi Saat Merasa Terhina dan Terluka

by - Saturday, January 12, 2019

Hai, Bloggers!

Dalam hidup kita pasti pernah, atau bahkan sering mengalami perasaan terhina, atau terluka akibat sikap dan perbuatan orang lain. Rasanya sangat tidak menyenangkan, ya. Membuat perasaan jadi sedih, kecewa bahkan marah. Kalau menuruti hati. Ingin sekali rasanya balas menyakiti orang yang telah melukai kita. Biar dia tahu bagaimana rasanya disakiti.



Aku pun pernah mengalami perasaan tersebut. Malah tidak hanya sekali, tapi berulang kali. Bedanya, ada perbedaan cara mengatasinya antara dulu dan sekarang.

Kalau dulu saat merasa tersinggung, aku selalu mencari cara, agar bisa melampiaskan kemarahanku kepada orang yang telah menyakiti. Biasanya aku memprotes atau berbicara langsung.
Prinsipnya, aku tak sudi menanggung rasa kesal dan marah sendirian. Sementara, orang yang telah menyakitiku hidup tenang dalam kedamaian. Masih menurutku, ia harus tahu perbuatan dan tindakannya melukai dan menyakitiku.



Cara ini terbukti membuatku merasa lega dan plong. Tidak ada lagi ruang bagi  kemarahan di dalam hati, karena semua rasa sudah diutarakan.

Namun, lama-kelamaan ada efek negatifnya juga dari pembawaan ini. Ya, iyalah. Akibat terlampau berani mengutarakan perasaan. Aku jadi sering berseberangan dengan siapa saja. Tidak peduli atasan, teman atau keluarga, jika sudah membuatku merasa terhina, aku pasti akan memprotes atau melawannya. Membuatku sering terlihat, seperti seorang tukang pukul yang selalu siap tempur *wkwkwkwk*

Itu dulu. Sekarang aku belajar mengendalikan sikap asertif yang kebablasan tersebut. Aku berusaha mencari cara, supaya mampu mengelola emosi saat merasa terhina atau tersinggung.

Caranya, ketika ada yang merendahkan atau menyinggung perasaanku. Aku curhat kepada suami. Hanya saja, aku tidak berfokus menyalahkan si pelaku, tapi, justru hanya berpusat kepada perasaanku saja. Mengapa aku tersinggung? Masa begini saja terluka? Menghadapi perasaan sakit ini, apa perlu kulampiaskan balik saja kepada si pelaku atau bersabar? Apakah kemuliaan diriku akan ternoda akibat perbuatan orang tersebut atau justru tidak ada pengaruhnya? Dan seterusnya.

Dengan cara ini, biasanya, aku bisa mengidentifikasi. Apakah reaksiku hanya berdasarkan ego semata. Apakah reaksiku adalah marah atas alasan yang benar atau hanya menuruti ego semata? Apakah kemarahan ini akibat memandang diri terlampau tinggi, sehingga aku punya perasaan diriku tak layak menerima perlakuan ini. Tak ada seorang pun yang boleh merendahkanku, dan lain sebagainya.

Nah, kalau sudah ketemu jawabannya. Aku tinggal menata hati saja. Kalau jawabannya berdasarkan ego yang disebutkan di atas. Maka, perasaan marah ini harus dijinakkan apa pun caranya, karena motifnya sudah berbahaya. Bisa menggiring si pemikirnya menjadi sombong dan tinggi hati.

Loh? Tapi, dia memang mengesalkan. Kenapa aku harus bersabar?  Bukannya lebih mudah menyalahkan dia saja. Pelaku, yang menjengkelkan karena ketidakmampuannya menjaga perasaan orang. Membuatku jadi terluka begini. Salahkan saja dia. Beres, kan!

Oke. Pernyataan itu pun betul juga. Memang betul si pelaku adalah orang yang mengesalkan, membuat marah sehingga  otak ini rasa mendidih ingin menumpahkan rasa kesal, dan sumpah serapah.

Tapi, masalahnya, kalau setiap perbuatan buruk orang lain selalu dibalas dengan reaksi negatif, lantas, kapan kita belajar menjadi arif dan bijaksana. Belajar bersabar memahami orang dan segala kelemahannya. Belajar berpikir keren, bahwa keburukan orang seharusnya tidak mengendalikan kita. Terluka sebentar, iya, tapi membuat kita menjadi sama buruknya dengan dia, semoga tidak. Belajar memetik hikmah bahkan dari kejadian tak menyenangkan sekali pun.

Bukankah jadi orang baik dan sabar itu susah? Kenapa tidak menjadikan ini sebagai kesempatan belajar?

Kendati, kenyataannya bersabar tak pernah mudah. Apalagi aku orangnya begini, temperamental sejak lahir*wkwkwk* menulisnya, sih, enteng saja. Tinggal ketak-ketik. Praktik di lapangan sama sekali berbeda, harus rela berdarah-darah dan bersimbah airmata. Beratnya luar biasa. Hanya saja, sayangnya, tak ada cara lain menuju kebijaksanaan tanpa melalui jalan ini.

O, iya, agar bersabar tak terlampau menyiksa diri. Biasanya, aku mengingat formula ini; orang lain punya kekurangan, sama denganku yang juga punya segunung kelemahan.

#Postingan ini diikutsertakan pada tantangan one day one posting bersama Estrilook Commumity

#day12








You May Also Like

0 komentar