Serial Nomaden: Singkawang Part 3

by - Sunday, January 27, 2019

Hari yang ditentukan ke Singkawang tiba. Sekitar jam 09.00 pagi taksi pesanan yang akan membawa kami ke Singkawang tiba di Wisma. Kami pun berangkat menuju Singkawang.

Sumber Foto. Dokumen Pribadi

Ada beberapa pemandangan dalam perjalanan yang membuat kami terheran-heran, seperti melihat kambing diikat dengan posisi tiarap di atas bus. Karuan saja pemandangan tak berperi kehewanan tersebut menjadi topik bahasan hangat, membuat sopir justru melihat kami dengan tatapan aneh, karena menurutnya hal tersebut menjadi pemandangan biasa bagi masyarakat Kalbar.

Menurut pak sopir, atap bus menjadi wadah serba guna. Tak hanya hewan yang berada di sana, kadang kalau penumpang bus sesak, sebagian penumpang duduk di atap tersebut.

Alkisah, ada satu cerita menyangkut atap bus yang menjadi penampung apa saja termasuk manusia ini. Suatu ketika dalam perjalanan, seorang penumpang yang duduk di atap bus, asyik bercerita dengan kawan di sampingnya, tanpa menyadari ada pohon kayu di hadapan. Saat tersadar ia tidak sempat lagi menghindar dari si pohon. Ya, terjadilah. Si orang tersebut menyangkut di pohon kayu sementara bus-nya terus berjalan melenggang jauh. Cerita ini menurut pak sopir sangat terkenal di kalangan sopir taksi. Soal kebenarannya, apa memang demikian peristiwa yang terjadi hanya mereka dan Allah yang tahu.

Di pertengahan perjalanan kami singgah di kedai makan di Sungai Duri. Aku sengaja memesan bakso saja. Sudah dua kali aku menikmati bakso di Kalbar, sekali di Pontianak dan di Sungai Duri ini. Lagi-lagi ada yang berbeda dengan bakso di sini dengan yang biasa kumakan di tiga Kalimantan. Untuk mie putihny bukan sohun seperti yang biasa ditemui, tapi campuran antara bihun dan mie tiaw (kwetiaw), dari segi taste pun terasa berbeda.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih empat jam kami pun tiba di Pengadilan Agama Bengkayang, yang langsung disambut oleh ibu Nisa Istantri selaku Panitera Sekretaris. Kami langsung menghadap pak Rustam dan istrinya yang merupakan ketua Pengadilan Agama di situ. Ternyata, beliau ini suku banjar juga tapi sudah menjadi warga Kalbar sejak puluhan tahun yang lalu.

Pertemuan itu diakhiri dengan melihat-lihat rumah kontrakan para suami-suami. Letaknya tidak jauh dari kantor Pengadilan Agama, hanya tinggal menyeberang saja. Kontrakan berbentuk barak yang sangat minimalis karena hanya terdiri dari sebuah kamar, kamar mandi dan sebuah tempat tidur, tanpa dapur apalagi ruang tengah. Menurut ibu Nisa kontrakan ini tempat tinggal sementara saja sebelum mendapatkan rumah yang sesuai keinginan.

Bersambung ...

#Postingan ini diikutsertakan pada tantangan odop bersama Estrilook Community

#day27



You May Also Like

0 komentar