Nyanyian Anak Pedalaman 3
Aku menengok ke arah bangku sepupuku Hanirah. Dia sedang meletakkan kepalanya di meja. Tampaknya ada yang tak beres dengannya. Tatapannya lemah dengan ekspresi seperti orang kedinginan dan menahan sakit.
Sumber Foto. Pixabay |
“Kamu kenapa, Rah? Sakit?” tanya Ipat sepupuku yang lain sambil meraba dahi Hanirah.
Hanirah tak menjawab. Ia hanya menampakkan wajah yang kian menderita.
Untungnya, tak lama kemudian ibu Mursini masuk kelas, hendak memeriksa apakah tugas menulis sudah dikerjakan oleh kami
“Ibu, Hanirah sakit, Bu, dahinya panas!” lapor Ipat
Ibu Mursini segera menghampiri bangku Hanirah.
“Kamu kenapa? Sakit? “ selidik beliau sambil meraba dahi Hanirah.
Hanirah hanya diam, tak berani berkata jujur.
Salah satu sifat kebanyakan kami yang berasal dari keluarga petani miskin, adalah kurang berani terus terang mengenai apa yang kami rasakan. Selalu ada perasaan sungkan dan tak nyaman jika harus berterus terang. Takut salah, takut menyinggung perasaan orang. Efeknya, kami terlihat seperti anak yang penurut ketika berada di sekolah, walau faktanya sering terjadi sebaliknya.
Setelah ibu Mursini bertanya berulang kali, disertai sikap tak akan menyalahkan apa pun yang dikatakan Hanirah.
Hanirah pun mengangguk lemah, mengiyakan kalau ia memang merasa tak enak badan.
“Kalau begitu kamu sebaiknya pulang saja, ya, diantar sama kakakmu Unir!” perintah ibu Mursini.
Hanirah hanya merespons dengan mengangguk lemah, tetap tidak berkata sepatah kata pun.
Pada akhirnya tak hanya Unir sang kakak, yang di tugaskan mengantarnya ke rumah. Aku dan para sepupu Ipat, Idei, Imil juga turut serta dalam rombongan pengantar orang sakit.
Walau tak mengerti mengapa, untuk mengantar satu orang sakit saja di perlukan hingga 5 orang yang menyertai. Apakah maksudnya kami berlima harus bergantian menggendong Hanirah menuju rumahnya? atau haruskah kami ber 6 menggotong Hanirah jika dia pingsan atau sudah tak mampu lagi melangkah? Mengingat kendaraan yang umum dipakai di kampung kami hanyalah sepeda, dan tak ada satu pun dari kami yang menggunakan sepeda, sementara jarak tempuh menuju rumahnya Hanirah tak kurang dari 3 kilo meter lagi. Pasti itu maksud penugasan kami.
Bukan tugas yang mudah, tapi entah mengapa kami tak keberatan melaksanakannya. Kira-kira jauh lebih ringan tugas menggotong orang sakit, dari pada harus menanggung rasa bosan mencatat tugas di dalam kelas. Toh, kami ditemani Unir kakak perempuannya Hanirah yang bertubuh bongsor. Biarlah tugas menggendong Hanirah diserahkan saja padanya.
Sepanjang jalan kami bercanda, dan tertawa tak memedulikan kondisi Hanirah yang demam. Kami terus saja saling meledek satu sama lain. Benar kata orang hilir, tertawa dan keriangan itu cepat menular. Hanirah yang tadinya terlihat lemah pun ikutan tertawa dan bercanda juga. Bahkan, ia semakin sering minta turun dari gendongan Unir untuk berjalan kaki bersama kami.
Sebenarnya, jarak sekolah dengan rumah Hanirah tak terlalu jauh. Akan tetapi akibat di antara sekolah, dan jalan menuju rumahnya terbentang sebuah waduk yang luas. Terpaksa jalan yang dilalui harus memutari waduk, membuat perjalanan 2x lipat semakin jauh.
Tak terasa kami sudah setengah perjalanan, dan semakin dekat dengan tempat pemandian umum, tempat warga biasa mencuci dan mandi. Tempat pemandian itu sederhana saja. Berupa beberapa lembar papan, yang di topang dengan tiang sehingga tercipta tempat yang lapang, dan nyaman untuk kebutuhan mandi dan mencuci.
Sedangkan bagi kami, tempat pemandian itu salah satu tempat favorit untuk bersenang-senang. Menceburkan diri ke dalam kolam dengan gaya sesukanya, entah dengan gaya berjumpalitan, salto atau jungkir balik. Sensasinya sangat luar biasa. Makanya, kami senang berlama-lama menghabiskan waktu di kolam ini. Prinsipnya, tak akan pulang sebelum jari-jari menjadi keriput, bibir membiru, mata memerah, rambut kusut dan badan menggigil kedinginan.
Tepat berada di jalan menuju tempat pemandian. Tanpa ada yang memberi komando, seolah-olah komunikasi batin kami menyambung begitu saja, dan semuanya sepakat, tiba-tiba kami sudah berlari dengan riang menuju tempat mandi, segera melempar tas, membuka topi, melepaskan kaos kaki dan sepatu.
Kemudian, Byuuurrr ... byuurr ... byuurrr ... Byuurrr
Kami semua sudah berada di dalam kolam, termasuk sepupuku Hanirah yang tadinya mengaku sakit. Sepertinya kolam itu telah menyembuhkannya.
Tamat
#Postingan ini diikutsertakan pada tantangan one day one posting bersama Estrilook Community
#day20
0 komentar