Aku dan Menulis

by - Sunday, October 21, 2018

Dari dulu aku suka menulis. Dimulainya sejak kapan, aku pun sudah tidak ingatlah lagi. Mungkin sejak Sekolah Dasar atau setelahnya.



Seingatku, aku memang menyukai pelajaran mengarang . Jika teman-teman menyelesaikan tugas mengarang asal-asalan saja, aku sebaliknya. Menjadikan kesempatan itu, untuk menuliskan apa saja yang ada di otakku.

Dari yang tadinya suka mengarang, lama kelamaan mulai menulis di buku diary. Awalnya, hanya sebagai tempat mencurahkan rasa suka terhadap seseorang. Namun, seiring berjalannya waktu, rasa yang di utarakan sudah merembet ke hal-hal lain, seperti melampiaskan rasa kecewa, marah dan sedih.

Dan pada saat Sekolah Menengah Atas, aku punya profesi baru, yaitu, sebagai penulis surat. Mengetahui kesukaanku pada menulis, membuat beberapa orang teman sengaja memanfaatkanku, untuk menulis surat buat pacarnya.

Antara senang dan merasa bersalah.

Senangnya, dengan menulis surat aku bebas menuangkan rayuan dan gombalan di kepala. Bukan kah kebanyakan perempuan begitu? Walaupun tahu dirinya di bohongi, tetap saja senang menerima gombalan.

Ya, sekalian saja di manfaatkan.

Di sisi lain. Membayangi, binar-binar bahagia si penerima surat yang ku tulis. Terbius dan mabuk kepayang, membaca kalimat demi kalimat di dalamnya. Melahirkan perasaan berdosa juga. Rasa  bersalah karena sudah menipu seseorang.

Senjata makan tuan

Puncak rasa tidak nyaman itu akhirnya mendatangiku.

Suatu ketika, temanku Fani minta tolong kepadaku menulis surat untuk seorang cewek, adik kelas kami, sebut saja namanya, Hani. Ceritanya, si Hani naksir Fani, tapi si Fani nggak bisa menerima cintanya, karena sudah punya pacar.

Intinya. Fani memintaku membuat surat penolakan cinta.

Aku menyanggupi permintaan itu dengan syarat, tulisan yang akan ku buat, jangan di jiplak mentah-mentah. Ambil intinya saja, namun, untuk gaya bertutur  harus di sesuaikan ala si pengirim. Dalam hal ini si Fani.

Apesnya, si Hani yang memang biasa curhat mengenai perasaannya terhadap Fani, membawa surat itu dan menyerahkannya kepadaku.

Kontan saja, membaca surat itu membuat aku syok bukan kepalang. Bayangkan, mengeja huruf demi huruf tulisan sendiri, ditambah menyaksikan raut kecewa di wajah, Hani. Sukses membuatku hampir muntah akibat rasa bersalah. Aih! Kenapa juga surat ini harus sampai ke tanganku? Lagian, kenapa juga si Fani tak menuruti perintahku, agar menyalin isi surat sesuai style-nya dia. Bukannya sampai titik koma di tiru juga. Ya, ampun. Mau pingsan rasanya

Akhirnya, aku berhenti menjadi penulis surat.

Sebagai gantinya, aku mulai menulis cerpen. Bukan dikirim ke majalah atau apa. Hanya untuk memenuhi tugas mading sekolah.

Seingatku, judul cerpennya, Balada Anak Kelas Dua. Mengangkat cerita berdasarkan kegiatan sehari-hari kami di kelas dua.

Tak dinyana, cerpen ini juga membawa masalah. Soalnya, teman sekelasku yang bernama, Totok, tersinggung dengan narasi buatanku. Dan tanpa tedeng aling-aling merobek karyaku.

Sontak, perbuatan itu membuat teman yang lain marah. Terutama mereka yang sudah bersusah payah menerbitkan mading itu.

Perang mulut pun terjadi.


Kali ini Kepala Sekolah, pak Santoso Adi turun tangan, menjadi juru damai antara kami dan Totok. Kesimpulannya, cerpenku hanya fiksi, si Totok tak perlu tersinggung dengan isinya. Sedangkan kepadaku, pak Santoso berpesan, agar terus berkarya tapi tetap berhati-hati dalam menerbitkan tulisan, supaya tidak menyinggung siapapun.

Itulah pengalaman menulisku yang tak terlupakan.

Meskipu belum pernah menghasilkan karya, aku akan terus menulis. Walau sedikit tertinggal, mengingat usiaku. Aku  tak keberatan. Bersedia untuk belajar lagi dan berproses, siapa tahu cita-citaku bisa melahirkan buku solo, menjadi kenyataan. Aamiin.

#Postingan ini diikutsertakan pada tantangan one day one posting bersama Estrilook Community




You May Also Like

0 komentar