Memilih Diam
Sungguh sulit menghentikan kebiasaan buruk. Apalagi jika kita merasa kebiasaan tersebut bukanlah perbuatan buruk, karena kebetulan lingkungan dan lingkaran pertemanan hampir semuanya berbuat demikian. Maka, semakin sulitlah kebiasaan tersebut dihentikan.
Salah satu kebiasaan buruk yang dimaksud adalah berkomentar nyinyir atau berdebat, silang sengketa, tentang berita selebriti atau persoalan pilihan presiden di media sosial.
Sumber Foto. Pexels.com |
Memang, memutuskan tidak terlibat atau ikut-ikutan kebiasaan orang banyak, butuh tekad kuat. Semisal menyatakan diri tidak terlibat perdebatan tentang calon presiden. Pilihan ini biasanya akan membuat kita dicap macam-macam. Sok netral, abu-abu, yang terparah ditakut-takuti tidak menjadi bagian kaum beriman.
Sulit memang. Padahal cuma masalah pilihan politik. Mengapa harus ditekan dan diancam. Padahal, untuk urusan memilih agama saja tidak boleh main paksa. Apalagi soal pilihan politik yang merupakan perkara biasa dalam suatu negara. Urusan dunia belaka. Orang mau pilih yang mana, ya, tergantung selera masing-masing orang saja.
Itu belum termasuk pernyataan menakut-nakuti. "Pilihan kita akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah kelak." Pendapat pendukung salah satu calon ini maksudnya, sih, bahasa propaganda untuk menakut-nakuti siapa saja yang tidak memilih jagoan yang bersangkutan, maka diakhirat kelak akan berhadapan dengan Allah, karena telah memilih pemimpin yang salah.
Masalahnya, bukankah tidak hanya perkara memilih pemimpin saja yang akan kita pertanggung jawabkan diakhirat kelak. Bukannya semua tindak-tanduk kita akan dimintai pertanggung jawaban juga? Termasuk kebiasaan suka nyinyir terhadap orang lain. Menghina dan menghujat pasangan calon lawan politik kita, menyebar berita yang belum jelas kebenarannya. Syukur kalau berita tersebut benar adanya. Kalau ternyata salah berarti kita sudah memfitnah pihak lain.
Makanya, dalam menghadapi situasi yang tidak menentu ini, aku lebih memilih diam saja. Bukan karena tidak punya pilihan. Namun, lebih kepada bersikap hati-hati. Menahan diri menyebarkan berita yang sumbernya meragukan. Tidak ikut campur membahas persoalan yang aku sendiri tidak punya pengetahuan dan tidak tahu persis permasalahannya apa. Dari pada salah ucap yang justru memperkeruh suasana, lebih baik diam saja. Jauh lebih aman.
Aku juga tidak menelan mentah-mentah berita yang kudengar dan kulihat. Karena aku berprinsip semua yang terjadi di muka bumi adalah ujian. Perbuatan buruk orang lain itu ujian bagi orang baik. Kalau kita melihatnya lantas kita mendoakan yang baik-baik untuknya. Orang baiknya lulus.
Akan tetapi, jika kita merasa diri lebih suci kemudian menggunjing, menghujat, menggosip dan menjelek-jelekkan oknum yang berbuat buruk tadi. Di situlah pahala kita yang dikumpul dengan susah payah berpindah ke orang yang kita komentari. Dengan kata lain, kita tidak lulus menghadapi keburukan orang lain. Astagfirullah.
Demikianlah. Dunia ini sudah tua. Kita dan orang lain sama-sama sedang menuju Allah untuk mempertanggung jawabkan semua perbuatan kita. Sebaiknya, selalu waspada dan mawas diri. Minimal kita berusaha tidak dengan sengaja menambah-nambah dosa, supaya selamat baik di dunia maupun akhirat kelak. Aamiin.
#SETIP day 13
0 komentar