Cinta Biru Part 1

by - Monday, May 06, 2019

Cerita ini mengenai seorang teman, menikah selama 17 tahun lamanya kemudian bercerai. Permasalahan utama tidak tahu persis, hanya dia dan suaminya yang paling tahu. namun, ada satu poin yang menjadi perhatianku secara serius.

Sumber Foto. Pexels.com

Dia mengatakan, hampir selama 17 tahun dia merasa tidak menjadi dirinya sendiri. Setiap melalukan sesuatu termasuk yang menyangkut, minat, hobi dan bergaul, harus lah selalu mengacu pada kehendak sang suami. Bahkan perkara yang baik maupun buruk, benar salah, semuanya tergantung pada pendapat si suami. Jika baik menurut suami maka baiklah hal tersebut untuknya, namun sebaliknya jika tidak, maka hal tersebut pasti buruk.

Jika si teman itu mencoba untuk melakukan pembangkangan dengan menentang kehendak si Raja rumah tangga tersebut, akibatnya bisa gawat. Menimbulkan kemurkaan sang suami. mengalirlah, kata-kata paling sakti bernada menyakiti, mengintimidasi, merendahkan, menghinakan, dan lain sebagainya.

Untungnya, masih menurut teman tersebut, keadaan ini telah berakhir. Ya…benar, karena perbedaan yang ada semakin memperlebar jurang pemisah diantara mereka. Maka, diputuskanlah kata sepakat untuk menempuh hidup masing-masing alias bercerai. Sekarang, si teman maupun si mantan suami telah kembali membina rumah tangga dengan pasangan baru.

Pernikahannya benar hanya dengan orang yang salah. Ini kira-kira kalimat yang tepat dalam menggambarkan situasi di atas. Istilah yang lagi populer saat ini rumah tangga mereka sedang ada aktivitas KDRT alias kekerasan di dalam rumah tangga. Bentuknya tidak harus selalu kekerasan fisik. Kekerasan non fisik pun terhitung sebagai kekerasan juga. Bahkan, kekerasan non fisik jauh lebih berbahaya di banding kekerasan fisik, karena langsung menyerang mental seseorang.
Dapat mengakibatkan disorientasi kepribadian seperti merasa rendah diri, paranoid, pesimis, frustrasi, hingga depresi berat. Efek yang buruk, bayangkan jika hal ini terjadi pada seorang ibu . Pasti yang menjadi korbannya adalah anak-anak. Bukan hanya di rumah, kehidupan sosial hingga pekerjaan pun jadi terganggu .

Di samping itu, korban tidak dapat mengadukan kepada pihak yang berwenang menyangkut kekerasan non fisik karena tidak ada bukti yang menguatkan, berbeda dengan kekerasan fisik yang dapat dibuktikan melalui visum . Inilah yang membuat para korbannya tidak berdaya.

Banyak yang putus asa namun tidak sedikit yang bangkit untuk melawan, hingga berlaku agresif. Beberapa contoh yang di tayangkan pada media cetak maupun elektronik mengenai seorang istri yang menganiaya hingga membunuh sang suami karena tak tahan lagi menerima perlakuan yang tidak manusiawi itu, membakar bahkan memutilasi sang pasangan. Mengenaskan memang. Tetapi hal ini membuka mata kita betapa efek penindasan di dalam rumah tangga tidak bisa dianggap kecil dan remeh.


Ungkapan yang mengatakan orang yang paling berpotensi untuk menyakiti diri kita adalah orang terdekat, sedikit banyak ada benarnya. Tak di sangka namun banyak kejadian. Suami atau isteri yang seharusnya orang yang paling kita cintai tempat menyandarkan hidup dan harapan. Tempat berbagi suka dan duka. Tempat meminta perlidungan baik secara jasmani maupun emosional, ironisnya justru menjadi pelaku utama yang membuat luka.

#Setip day 29

You May Also Like

0 komentar