Aku enggak tahu harus berpandangan seperti apa, pas suatu waktu menghadapi seorang teman yang selalu mengeluhkan tentang "ketidak hebatan" suaminya karena menjadi pengangguran. Sekali dua aku hanya mendengarkan saja, namun selanjutnya aku tak sanggup lagi untuk menahan lidahku dengan memberikan komentar seperti ini.
Sumber Foto. Pexels.com |
"Yang menyuruh mengawini suamimu itu siapa? dipaksa atau pilihan sendiri?"
Bukan tanpa alasan mengapa aku jadi berkomentar seperti ini, aku merasa kesal dengan ulah si teman yang selalu merendahkan suaminya hanya karena si suami belum mendapatkan pekerjaan alias pengangguran.
Padahal aku yakin si teman menikah dengan si suami atas pilihan sadar alias menikahnya bukan karena di jodohkan, jika pernikahan itu atas kemauan sadar sudah barang tentu si teman telah mengetahui kelemahan si pasangan jauh-jauh hari, makanya akhirnya memutuskan untuk tetap menikahinya.
sebagai istri harusnya menanamkan pemahaman di kepala, bahwa laki-laki itu adalah pemimpin, kepala rumah tangga didalam rumahnya, dan selayaknya seorang pemimpin, suami berhak mendapat rasa hormat dan ditinggikan dari orang yang di pimpinnya. Bukan malah direndahkan dan dihinakan di wilayah kekuasaannya sendiri. ikut merasakan bagaimana terhinanya perasaan sang suami yang tak mendapat perlakuan yang semestinya itu, pasti menyakitkan.
Aku merasa yakin dan percaya kepengangguran si suaminya itu bukan karena di sengaja, tapi kebetulan saja zamannya memang lagi susah mendapatkan pekerjaan, plus faktor keapesan yang diakibatkan oleh banyak hal membuat si suami belum kunjung mendapat pekerjaan.
Pada dasarnya tak ada satupun laki-laki terutama yang telah mempunyai istri yang berniat untuk menjadi pengangguran, semua suami pasti ingin membahagiaan sang istri, memberi yang terbaik serta menjadi kebangaan. Tapi yang namanya keinginan kita belum tentu selalu sejalan dengan kenyataan.
Ada banyak faktor, di antaranya telah di sebutkan di atas tadi. Zaman yang serba sulit membuat keinginan mendapatkan pekerjaan yang diidamkan menjadi kian berat., dan sudah barang tentu beban itu terasa kian berat ketika sang istri yang di harapkan menjadi orang yang paling mengerti akan keadaan suami, justru malah membuat tertekan dengan tindakannya yang selalu memaksa suami agar segera mendapatkan pekerjaan hingga berkata yang menyakitkan mengenai kepengangguran suami.
Padahal agama telah banyak mengajarkan kepada kita, bagi seorang perempuan untuk masuk surga itu tak susah, hanya 3 hal yang perlu dilakukan, yaitu sholat 5 waktu, puasa di bulan ramadhan dan taat kepada suami. Dan menurutku bersabar dengan kedaan suami yang belum mendapatkan pekerjaan itu dapat di kategorikan sebagai taat kepada suami.
Yang namanya rumah tangga itu tak selalu mulus dan sesuai harapan, tapi pernahkah terlintas di kepala kita, bahwa situasi tidak menguntungkan yang dialami oleh suami merupakan salah satu ujian cinta yang harus kita tangani dengan bijaksana, alih-alih menyiksa suami dengan tindakan yang menyudutkannya, mengapa kesempatan itu tak kita gunakan semaksimal mungkin untuk mempererat ikatan cinta diantara kita dan suami dengan selalu memberi dorongan padanya, mengingatkan suami untuk terus berusaha dan sabar.
Menggenggam tangannya ketika dia lemah, memberi pelukan hangat ketika dia resah, meyakinkannya bahwa dia mampu menjadi laki-laki yang berhasil seperti yang dia inginkan.
Bukankan lebih nikmat rasanya jika keberhasilan suami yang capai dengan susah payah itu dengan di belakanganya si istri yang tak pernah lelah untuk selalu mendukung. Suami tentu tak akan lupa dengan jerih payah istri yang sudah sedemikian sabarnya selalu mendampingi suami dalam suka dan duka itu. Membuat kita merasakan betapa bersyukurnya kita karena telah di anugerahi satu sama lainnya.
Memang, akan mudah membanggakan suami yang terlihat berhasil baik secara materi atau kekuasaan, ketimbang yang biasa-biasa saja. Tapi biarlah, meski rumput tetangga lebih hijau dari pada rumput sendiri, dengan mensyukuri hidup yang ada beserta jodoh baik yang kita terima. akan lebih menyadari ternyata kebahagiaan tak bisa selalu diukur melalui banyaknya materi, karena tak berpunya bukan berarti tak bahagia atau miskin rasa, selama kita masih saling memiliki dengan cinta terhadap satu sama lain yang tak luntur, bukankah itu lebih dari cukup?
Aku sendiri pernah mengalami beratnya hidup ketika memulai berumah tangga, dengan penghasilan suami yang kecil dan tak menentu itu. Syukurnya hidup tak terasa berat sama sekali, prinsipnya selama hidup dengan suami, yakin semuanya akan baik-baik saja. Menyadari dan mempercayai bahwa suami mampu membawa keluarga ke kehidupan yang baik, pemahaman ini yang menghantar kita pada kondisi ingin selalu mengerti keadaan suami dan tetap bersabar.
Begitu pun ketika suami mengalami keberhasilan dalam hidupnya, supaya tak menjadi istri yang mabuk kepayang, caranya dengan menetapkan dalam pikiran bahwa keberhasilan suami karena usaha suami itu sendiri. Sama sekali bukan karena aku, di kehidupannya yang lebih baik ini posisiku hanya penumpang yang ikut mencicipi jerih payahnya. Aku tak terlalu berhak untuk menyatakan apa yang di peroleh suamiku sebagai sepenuhnya juga milikku, yang cape’ kerja kan suamiku.
Harapannya jangan sampai rumah tangga yang di bangun dengan cinta ini rusak hanya karena materi yang tak kekal itu, materi hanya pendukung kelangsungan hidup, dan bukan materi yang seharusnya mengendalikan kebahagiaan rumah tangga kita, kaya atau miskin yang paling penting adalah rasa saling memiliki terhadap satu sama lain yang lebih diutamakan. Demikian kira-kira. Wallahu'alam
#setip d
0 komentar