Cinta Biru Part 2

by - Monday, May 06, 2019

Kemana perginya cinta yang dulunya membara itu. Janji untuk membangun rumah tangga bahagia, melewati badai bersama, berbagi suka maupun duka hingga menutup mata. Begitu mudah semua itu terlupakan, berganti dengan kemarahan, kebencian, dendam dan penderitaan.



Pada dasarnya tidak ada satu pasangan pun yang berniat menikah untuk bercerai. Semuanya mendambakan keluarga yang bahagia, rumah yang tentram, karir yang cemerlang, anak-anak yang baik cerdas dan tidak menyusahkan.

Namun, kenyataan di lapangan sering kali bertolak belakang. Harapan yang tidak realistis terhadap pasangan sering kali menjadi pemicu terjadinya keributan. kecewa hati menyadari sang pasangan yang tak sesuai harapan , perbedaan yang tak kunjung mendapat jalan keluar hingga ketidaksiapan menjadi orang tua. Semuanya berpotensi memicu ketegangan dan pertengkaran.

Lalu, di mana letaknya kebahagiaan? Jika yang terjadi hanya pertengkaran demi pertengkaran. Hilangnya rasa cinta, lenyapnya sikap saling menghormati, serta tidak adanya perasaan aman dan nyaman. Mempertahankan kebersamaan justru semakin memperdalam luka. Rumah tangga yang seharusnya menjadi tempat berteduh di kala lelah jiwa dan raga malah berubah menjadi neraka yang tak berujung. 

Jadi sering merenung, apa sebenarnya yang salah. Padahal, seperti yang pernah di ungkapakan pada seorang teman. Sebagian besar pasangan ketika memutuskan untuk menikah, adalah keputusan yang di buat secara sadar, termasuk memilih si pasangan pun sadar, tanpa di paksa oleh pihak manapun. Artinya, jika itu adalah pilihan sadar seharusnya kedua belah pihak bertanggung jawab untuk membangun kebahagiaan di dalamnya. Bukannya malah menciptakan neraka.

Betul, tidak ada satu rumah tanggapun di muka bumi ini yang tidak mengalami konflik. Bahkan, konflik kadang sangat di perlukan untuk menegaskan tentang keinginan satu sama lain. Kita jadi tahu keinginan dan harapan masing-masing, dan biasanya, selama tidak mengarah pada penghinaan terhadap martabat pasangan dan berujung pada kekerasan fisik, justru bisa menjadi perekat yang menyatukan keduanya. Tanpa konflik, rumah tangga akan terasa hambar seperti membuat sambal tanpa cabe.

Tapi bagaimana jika yang terjadi itu konflik yang terus menerus, ujung-ujungnya saling menyakiti satu sama lain, pastinya bukan kebaikan dan kemesraan yang di dapat, yang timbul hanya perasaan marah, lelah, tertekan, sakit hati. Tentu siapa saja tidak ada yang bahagia jika iklim rumah tangganya seperti ini.

Meski begitu tidak sedikit pasangan yang mempertahankan rumah tangganya walau sudah tidak bahagia lagi. Alasannya, bisa bermacam-macam. Di antaranya pasrah karena beranggapan sudah takdir hidup, takut memulai hidup baru jika bercerai, atau demi anak-anak. Memprihatinkan memang, tapi sekali lagi sama seperti keputusan untuk menikah, hidup di dalam rumah tangga yang tidak bahagiapun juga pilihan sadar.

Pertanyaannya apa yang harus di lakukan? Jawabannya, segala keputusan ada pada tangan yang menjalani. Mau bertahan atau menyerah pada kebebasan, kedua tindakan tentu memiliki risikonya masing-masing. 

Bertahan berarti bertaruh dengan nasib. Siap bila harus merasakan kesakitan lagi, sedia dan sanggup menanggung beratnya beban batin, pasrah dan ikhlas meski di injak-injak martabat kemanusiaannya, atas nama keutuhan rumah tangga.

Begitupun bagi yang menyerah dan memilih berpisah. Dengan melepaskan diri dari ikatan perkawinan tidak bahagia, pun memiliki konsekuensi. Kenangan kurang menyenangkan yang diperoleh dari masa lalu sedikit banyak meninggalkan trauma. Merasa rendah dan terhina karena telah gagal membina rumah tangga, perasaan ditolak dan tidak dicintai mampu merusak kepercayaan diri sampai titik terendah, belum, ketidak mampuan untuk kembali percaya pada nasib baik, hingga menyesali takdir. Butuh usaha yang keras untuk bangkit menata hidup dan keluar dari kubangan penderitaan, entah sampai kapan.

Tak ada jalan lain kecuali menjalaninya, bahagia sedih, susah senang, pasang surut inilah hidup, setidaknya apapun pilihan hidup yang diambil jangan pernah menyerah dan berputus asa. Karena kita semua berhak untuk bahagia.

#Setip day 30

You May Also Like

0 komentar