Juragan Voucher Versus Juragan Panci Part 2

by - Monday, May 06, 2019

Di tengah ke asyikan kami bercerita datanglah seseorang yang bernama Nanang. Seingatku ia anak Fakultas Ushuluddin. Setelah basa basi menanyakan kabar kami, ia kemudian bercerita mengenai sebuah bisnis yang sangat menjanjikan dengan modal yang minim.


Bisnis apakah gerangan? 

Sayangnya, meskipun dikorek-korek dan di uber-uber dengan pertanyaan yang antusias bin full semangat. Si Nanang tak mau memberi bocoran tentang bisnis fenomenal tersebut. Ia hanya mengatakan bahwa ikut bisnis ini tak rugi dan dijamin tak menyesal. Lengkap dengan gayanya yang meyakinkan seperti sales alat-alat rumah tangga. Bah, bikin penasaran saja!

Sumber Foto. Pexels.com

Tetapi meskipun sekuat tenaga kami bertiga memohon-mohon kepada si Nanang mengenai bisnis apakah gerangan. Misteri bisnis yang menggiurkan itu tetap tak terpecahkan. Satu-satunya petunjuk yang ia berikan. Jika kami memang berniat untuk ikut dalam bisnisnya itu silakan datang ke jalan MAHAT KASAN KM 4,5 Banjarmasin.

Keesokan harinya berbekal alamat yang telah diberikan Nanang, serta berbekal ijazah SMA dan surat lamaran kerja ditambah semangat yang menggebu-gebu, berangkatlah kami bertiga aku, Jack dan Engkoh ke jalan Mahat Kasan. Tujuannya cuma satu, hendak menjemput impian akan indahnya hari depan dengan ikut bisnis titik-titik.

Sepanjang jalan kami brrtiga menghayal sambil ketawa ketiwi membayangkan seperti apakah bisnis rahasia yang kami datangi ini. Apakah memang bener-benar mudah, legal, dan yang terutama menghasilkan banyak duit, sehingga kami dapat menyaingi para juragan-juragan Voucer itu. Atau justru sebaliknya. Sulit dan memusingkan?

"Tunggulah kami jutawan-jutawan baru yang akan menandingi kalian, wahai Juragan Voucher."

Setibanya kami ditempat tujuan. Kami mendapati banyaknya kendaraan yang di parkir secara sembarangan, serta hiruk pikuk orang yang keluar masuk rumah. Kenyataan yang melegakan, karena ini menandakan jika bisnis yang di maksud bener-bener ada dan tidak fiktif. Lumayan lega. Takutnya, bagaimana jika bisnisnya ternyata jualan Manusia.

Setelah saling dorong tentang siapa yang masuk ke dalam rumah itu. Di putuskanlah aku yang masuk duluan. Pertimbangannya, karena aku cewek yang gesit dan ceplas ceplos, sehingga sangat sempurna jika di jadikan sebagai kelinci percobaan. 

Dengan rasa percaya diri tinggi yang dibuat-buat. Aku pun masuk kedalam rumah tersebut. Di sana terlihat orang yang berlalu lalang dengan sibuknya, beserta sejumlah peralatan rumah tangga yang di letakkan disembarang tempat. Tidak berapa lama seorang bapak-bapak berpostur subur menyambutku dan mempersilahkan aku duduk di kursi yang berada di ruang tamu.

 "Ada perlu apa, ya , mbak?" Tanya bapak tersebut.

Dengan semangat 45 kujelaskan mengenai tujuanku datang ketempat tersebut bermaksud untuk mencari pekerjaan sambil mengeluarkan foto copy ijazah dan surat lamaran kerja.

"Sebelumnya punya pengalaman kerja? " tanya beliau lagi, yang kujawab saja dengan sebenar-benarnya, bahwa aku belum pernah bekerja di manapun sebelumnya, alias no experience before.

Selanjutnya beliau memberi pandangan mengenai bisnis yang hendak kulamar ini yang ternyata bergerak dibidang pemasaran. Mendengar kata-kata pemasaran telingaku menjadi tegang, jantungku berdebar-debar. Jangan-jangan?

Sebelum aku membuat kesimpulan sendiri mengenai bisnis apa tepatnya. Si bapak masuk ke dalam ruangan sebentar kemudian keluar lagi sambil membawa panci. What! sebentar! Apa hubungannnya bisnis jutawanku ini dengan panci? Jangan bilang aku melamar pekerjaan untuk menjadi sales panci.

Betapa lucunya bisnis rahasia ini, ternyata menjadi penjual panci toh. Oalah, ngomong  kek dari kemaren, bikin penasaran aja. Tahu beginikan bisa bersiap-siap. Batinku gemes terhadap si Nanang.

Tanpa menghiraukan roman mukaku yang shock. Si Bapak kembali duduk di kursi sambil meletakkan panci tersebut diatas meja. Selanjutnya aku tak terlalu memperhatikan lagi apa yang si bapak lakukan. Aku bingung dan linglung.

Jadi bisnis jualan panci. Ya, ampun. Jika beginj ceritanya, bagaimana bisa mengalahkan para juragan Voucer itu? batinku dengan perasaan yang remuk redam. Pupuslah sudah niatku hendak menjadi jutawan. 

Aku sedih dan kecewa. Aku tidak meremehkan pekerjaan yang kulamar ini. Sama sekali tidak. Tetapi, lebih tepatnya karena aku tak biasa jualan. Makanya, pekerjaan yang paling ku hindari adalah menjadi sales. Apalagi mengingat track recordku yang buruk mengenai perkara jual menjual ini.

Sejak SD aku sudah sering jualan. Yang membuat aku memutuskan kalau tak bakat berdagang. Karena sejak SD pula setiap jualan aku selalu tekor alias merugi. kejadian yang berulangkali terjadi, aku bukannya dapat untung, yang terjadi aku malah buntung karena berhutang. Duh!

Kembali ke masa kini. Di hadapanku si Bapak memperagakan bagaimana cara menjadi penjual panci yang baik dan benar. Pertama-tama keluarkan panci dari kotak pembungkusnya, kemudian kita harus menjelaskan keistimewaan setiap elemen dari panci tersebut, trus kegunaannya yang berganda and bla ... Bla ...

Aku hanya menatap si bapak sambil melongo, otakku tak mau di ajak kompromi untuk berkonsentrasi memperhatikan penjelasan beliau. Yang kupikirkan hanya bagaimana kehidupanku jika diterima menjadi karyawan penjual panci ini?

Tanpa ba bi bu, si bapak menyodorkan tumpukan panci yang ada di meja ke hadapanku. Maksudnya, aku di test cara memperagakan bagaimana menjadi penjual panci yang baik dan benar. Di mulai dari pembukaan, penjelasan inti hingga rayuan untuk meyakinkan si pelanggan.

Oh, Mamak. Aku ketawa ngakak berkali-kali di dalam hati. Meskipun, kuturuti saja anjuran si bapak itu. Oh, Tuhan. tolong hambamu ini, jangan beri hambamu cobaan melebihi kemampuan hamba untuk menanggungnya!

Selesai memperagakan bagaimana cara menjual panci, si bapak mengatakan kepada ku akan memberi kabar jika aku diterima menjadi karyawan di tempat itu, yang ku iyakan sambil cengar-cengir dengan tampang malu-malu seperti habis dilamar.

Akhirnya, aku keluar ruangan dengan perasaan yang campur aduk, antara bingung, shock dan terkagum-kagum. Tiba di luar aku di sambut oleh Jack dan Engkoh yang menantiku dengan harap-harap cemas. setelah memberi kesempatan kepadaku untuk mencerna kejadian yang barusan menimpaku. Ku jelaskan dengan panjang lebar mengenai apa yang kulakukan di dalam barusan. Bahwa aku dan kami  semua, hendak melamar jadi penjual panci, yang di tanggapi oleh Jack dan Engkoh dengan tertawa terpingkal-pingkal.

Berminggu-minggu setelahnya tak ada panggilan dari perusaan panci yang telah kami datangi tempo hari, yang menandakan kalau aku ditolak menjadi penjual panci. Keputusan yang kuterima dengan perasaan lega. Bukannya gengsi, aku hanya tak sanggup membayangkan diriku di bawa kesana-kemari naik mobil pick up terbuka untuk menjajakan panci. Rasanya terlalu berat buat ditanggung.

Hari demi hari berlalu sejak kejadian yang mengharu biru itu. Aku, Jack maupun Engkoh telah melupakan kejadian itu. Suatu siang yang cerah di KOPMA, aku bertemu seorang teman yang bernama Acid, dia menyapaku begini

"Gold, gimana kabar bisnis pancinya..?"

Hah, kok, tahu ya. Padahal aku enggak bercerita ke banyak orang mengenai kejadian tersebut, selain, mangkel hati karena gagal menjadi jutawan. Aku beranggapan bahwa kisah itu tak menarik untuk di ceritakan, dan kalaupun dikisahkan juga, hanya akan menyiksa diri, karena aku bakal dijadikan bulan-bulanan teman-temanku yang senang melihatku sengsara. Aku hanya menjawab dengan senyum dikulum. Menandakan kalau aku ogah disangkut pautkan dengan bisnis perpancian di muka bumi ini. Jadi, jangan tanya-tanya lagi ya. Pliss.

Tak lama berselang setelah kejadia panci itu. Rupanya, terjadi gonjang-ganjing  pada bisnis Voucer. Bisnisnya bangkrut, sedang beberapa Top Leadernya yang berasal dari kalangan Mahasiswa kampus hijau dijebloskan ke penjara oleh orang-orang yang merasa dirugikan. Bisnis yang banyak memakan korban, bahkan menurut berita ada beberapa dosen yang mengalami kerugian hingga miliyaran rupiah. Nominal yang tak tertanggunggkan.

Di sini aku tiba-tiba tersadar betapa beruntungnya aku tak terlibat bisnis itu, mengingat rasa rendah diri yang menghantui ketika berada di dekat para mantan juragan itu, membuatku bersyukur, ternyata miskin itu ada gunanya. Kejadian Panci mah tak ada apa-apanya dibandingkan nasib teman-teman yang hidupnya terus di kejar-kejar para penagih hutang. Tak ada seujung kuku pun.

#setip day 32

You May Also Like

0 komentar