Saya Ibu Rumah Tangga dan Saya Istimewa

by - Tuesday, October 06, 2020

Perdebatan tentang mana yang lebih baik antara perempuan bekerja atau di rumah, seperti tidak pernah ada habisnya. Dikira kontroversi dua hal ini akan mereda dengan sendirinya di tahun-tahun mendatang. Namun, pada saat tertentu atau munculnya momen-momen yang menjadi pemicu, perdebatan antara dua hal ini pasti memanas kembali

Foto. Pixabay.com


Saya sendiri pernah mengalami keduanya. Meski saat ini saya adalah ibu rumah tangga penuh waktu. Di masa lalu, saya pernah bekerja sebagai guru. Saya memutuskan berhenti dari karier mengajar karena harus mengasuh putra kami yang baru lahir, dan terus berlanjut hingga sekarang

Sebenarnya pernah mendapat tawaran untuk mengajar lagi, tapi saya tolak. Saya enggak mau memaksakan diri melakukan sesuatu yang tidak bisa dinikmati, karena saya tahu persis. Bahwa alasan saya kembali mengajar hanya untuk mengisi waktu luang saja dan bukan karena kecintaan saya pada dunia mengajar. Dari pada menghabiskan waktu melakukan sesuatu dengan setengah hati, lebih baik tawaran itu ditolak saja memberi kesempatan kepada mereka yang lebih berdedikasi dengan tugas tersebut.

Awalnya keputusan menjadi ibu rumah tangga mendapat banyak tentangan dari keluarga. Terutama keluarga suami. Menurut mereka, seharusnya saya jangan berhenti bekerja karena sayang ijazah. Sudah capek-capek sekolah sampai sarjana, masa ujung-ujungnya hanya menjadi ibu rumah tangga saja.

Tetapi karena pertimbangan tidak ingin menyerahkan pengasuhan anak kepada orang lain, pendapat yang menyudutkan itu diabaikan saja. Lagi pula keputusan saya untuk tinggal di rumah sudah mendapat dukungan penuh dari suami.

Dari kejadian ini saya berpendapat, cara memanusiakan seorang perempuan itu sebenarnya gampang, tinggal beri dia kemerdekaan untuk menentukan sendiri apa yang dia inginkan, serta tidak memaksanya membuat pilihan yang bertentangan dengan hatinya. Entah nantinya dia memilih untuk bekerja di luar rumah sebagai wanita karier atau menjadi ibu rumah tangga saja. Keputusan tersebut haruslah dihormati.

Perempuan meski sering dianggap sebagai manusia kelas dua, bukanlah barang yang hidup serta keinginannya harus selalu mengikuti kehendak orang lain. 

Masih menurut saya juga, yang penting apa pun pilihan yang diambil perempuan, dia harus bertanggung jawab dengan pilihan itu, dan tidak mengeluh atas konsekuensi yang menyertai pilihan tersebut. Contohnya, seorang perempuan lulusan sarjana mungkin akan mendapat cemoohan karena keputusannya memilih untuk menjadi ibu rumah tangga

Nah, cemoohan itu haruslah diterima dengan lapang dada sebagai akibat pilihan kita. Tidak bersedih hati apalagi sampai merasa rendah diri. Dia harus sadar bahwa ada harga yang harus dibayar dari setiap keputusan yang dibuatnya. 

Awalnya mungkin terasa menyakitkan. Tetapi bukankah rasa sakit itu sepadan dengan kemerdekaan yang berhasil diraih karena sudah mampu memutuskan apa yang terbaik bagi diri sendiri? 

Lagi pula, hidup sebagai ibu rumah tangga tidak bermakna seorang perempuan lantas tidak bisa berkiprah untuk dunia. Asal si perempuan tersebut mau terus meng- upgrade dirinya, dia juga bisa melakukan banyak hal yang tidak kalah keren dibanding mereka yang berkarier di luar rumah. 

Apalagi pada zaman kemajuan teknologi seperti saat ini. Di mana kesempatan untuk belajar semakin dimudahkan. Ibu rumah tangga bisa memanfaatkan keadaan tersebut untuk mengikuti berbagai kelas yang sesuai dengan minat dan bakatnya. Ambil kesempatan tersebut untuk memperkaya diri dengan berbagai skill sehingga tidak ada alasan lagi ibu rumah tangga malu dengan pilihan hidupnya.


You May Also Like

0 komentar